Bagian 6

24K 3.2K 61
                                    

***

 "Mi, berapa lama lagi kita sampai di apartemen Papi?" tanya Zai untuk yang kelima
kalinya, terhitung sejak mereka baru mulai berkendara.

Ya, Rasi menghitungnya. Dalam kurun waktu kurang dari empat puluh lima menit, Zai
bertanya hal yang sama berulang-ulang tanpa sedikit pun kehilangan energinya. Berbeda dengan
Nai dan juga Kai yang sejak lima belas menit yang lalu sudah tepar di jok belakang dengan posisi
saling bersandar.

"Sebentar lagi, Zai. Ini kita udah mulai masuk ke jalan apartemen Papi. Sabar, ya."

"Kita akan ikutin Papi ke mana-mana sampai malam, kan, Mi? Nggak lihat sebentar
doang?"

Rasi menatap Zai melalui kaca spion tengah. "Ya nggak, dong, Zai. Mami pusing kalau lama-lama di mobil. Emangnya kamu nggak?"

Zai menggeleng kuat. "Nggaklah, Zai kuat sampai malam juga."

Rasi hanya menggeleng. Kedua tangannya kemudi perlahan untuk berbelok memasuki sebuah area apartemen mewah. Meski sudah cukup sering melihat gedung apartemen itu, Rasi masih saja takjub dan heran. Heran pada orang-orang yang rela menghabiskan banyak uang hanya untuk satu unit apartemen di sana setiap tahunnya.

Lima menit kemudian, Rasi memarkirkan mobil di area paling sepi dan jauh dari pos satpam, serta paling dekat dengan jalan raya. Tempat paling strategis di mana dirinya biasa 'menunggu'.

"Ini, Mi, tempat tinggal Papi?" tanya Zai begitu Rasi mematikan mesin mobil.

"Iya. Gedung yang tinggi itu," Rasi menunjuk tiga bangunan tinggi yang saling berdekatan, "adalah gedung apartemen Papi."

Rasi kemudian melirik jam tangannya. Sudah pukul empat sore. Kalau dia tidak salah memperkirakan, kurang lebih tiga puluh menit lagi Mahessa akan keluar. Kalau sampai perkiraan itu salah, maka tamat sudah perjuangan mereka sampai di sini.

"Mi, udah sampai?"

Rasi membalikkan badan. Nai sedang mengucek mata, baru bangun dari tidur singkatnya.

"Iya, Nai!" jawab Zai antusias. "Mi, apartemen Papi di lantai yang mana, sih?" tanyanya lagi sambil mendekatkan wajah pada kaca mobil untuk melihat lebih jelas gedung puluhan lantai
itu.

"Mami nggak tahu, Zai. Mami, kan, belum pernah masuk. Kalau tahu pun nggak akan kelihatan. Gedungnya tinggi begitu."

"Wah, keren. Bakal lebih keren lagi kalau apartemen Papi ada di lantai paling atas!" seru
Nai ikut antusias di sebelah Zai.

Tampaknya, kantuk gadis kecil itu sirna karena melihat keindahan gedung pencakar langit
yang sedang dihiasi cahaya senja.

"Zai, coba bangunin Kai. Kai pasti suka liat matahari terbenam gitu," kata Rasi. Ia juga
sedang memperhatikan langit bercat jingga itu lewat kaca mobil bagian depan.

Zai pun membangunkan Kai. "Kai, bangun. Ada sunset cantik."

Kai yang terganggu lalu membuka mata sambil menguap. Untuk sesaat, dia terlihat bingung tak mengenali suasana di sekitarnya.

"Kai, look at the sky!" seru Zai masih dengan semangat yang sama.

Kai mendongak. "Bagus," komentarnya singkat. Berbanding terbalik dengan sikapnya yang langsung merapat ke kaca mobil di sisi yang lain.

"Lebih bagus lagi kalau dilihat dari atas, ya, Kai?" tanya Nai meminta persetujuan tanpa melepaskan pandangannya yang semakin berbinar ketika satu per satu lampu gedung mulai menyala.

"Iya. Lampunya juga cantik," ucap Kai sama terpukaunya.

"Girls, itu mobil Papi," kata Rasi tiba-tiba sambil men-starter mobil. Syukurlah, perkiraannya tidak salah. Malah pria itu keluar lebih cepat dari dugaannya.

TRIPLETS SERIES [1] : EVERYTHING IN TIME Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang