***
Mahessa keluar dari mobil dengan langkah cepat serta kepala tertunduk. Ia sama sekali tak mengindahkan karyawan-karyawan yang menyapanya ramah sejak dari lobi hingga ke lantai tiga. Tak banyak yang dia lakukan selain berkali-kali membenarkan letak topi agar semakin turun dan menutupi matanya yang sembap. Sepanjang perjalanan dari Meraki hingga sampai ke kantornya, Mahessa tak kuasa menahan tangis setiap kali teringat akan keberadaan putri-putrinya yang baru dia ketahui setelah sekian tahun.
Putri-putrinya. Mahessa tersenyum getir. Ada 3 tiga makhluk kecil yang cepat atau lambat akan memanggilnya dengan titel 'Papa'.
Papa. A simple word carries an incredible feeling.
Dulu sekali, Mahessa pernah memimpikan hal semacam itu ketika masih bersama dengan Rasi. Diam-diam dirinya berdo'a agar Rasi cepat sembuh dari traumanya dan bersedia melepas prinsipnya. Bersedia memberi diri sendiri kesempatan untuk membuktikan kalau memiliki anak tidak akan seburuk yang dipikirkannya. Rasi pasti bisa. Mereka, pasti bisa menjalaninya.
Ya, Mahessa pernah berpikir seperti itu saat memulai pernikahan dengan prinsip 'pernikahan tanpa anak' yang dia pegang. Dia tidak naif. Dia pernah sangat berharap kalau kehidupan rumah tangga mereka tidak hanya akan di isi keduanya hingga maut menjemput nanti. Di beberapa momen, bayangan indah itu selalu hinggap di kepala Mahessa.
Namun, keinginan itu nyatanya tak sebesar tekadnya untuk menghabiskan seluruh waktu memberi Rasi kenyamanan serta kebahagiaan tanpa tekanan. Harapan itu selalu pupus di setiap kali ia melihat Rasi berjuang di sebuah ruangan putih bersih bersama seorang psikolog di hadapannya. Mahessa tidak bisa. Dia tidak akan pernah bisa bersikap se-egois itu kepada Rasi.
He loves her. He really does.
Untuk Rasi, dan hanya untuknya, Mahessa rela melakukan apa pun demi mengukir derai tawa di bibir wanita itu. Termasuk mengorbankan keinginan terdalamnya. Baginya, apalah arti sebuah harap kalau tidak ada Rasi di dalamnya?
Setidaknya begitu sampai tahun ke-lima pernikahan mereka datang dan Ibunya memporak-porandakan semuanya. Membuat Mahessa mau tak mau harus memilah beberapa hal yang harus dia prioritaskan. Salah salah satunya kesehatan mental Rasi.
"Pak, sekretaris Thomas Sandjaya baru saja menghubungi. Dia meminta saya untuk mengatur jadwal untuk conference call bersama beliau dan Bapak Tama Wirama segera," sambut Laras langsung ketika Mahessa sampai di lantai tempat ruangannya berada.
"Jadwalkan untuk malam nanti," jawab Mahessa lurus tanpa menghentikan langkahnya. Sebelum membuka pintu, ia kembali menambahkan, " Dan untuk janji hari ini, alihkan ke besok. Saya tidak mau diganggu seharian."
Meski sambil meringis, Laras mengangguk paham. Sebenarnya ada janji penting sore ini, rapat bersama para direktur mengenai tindak lanjut masalah di Bounce kemarin. Namun, apabila bos besarnya itu sudah bertitah, Laras bisa apa? Belum lagi dia harus kembali menghubungi sekretaris Thomas Sandjaya dan menginformasikan kalau conference call baru bisa dilaksanakan malam nanti. Bukan siang ini seperti apa yang dia mau.
"Baik, Pak. Akan langsung saya laksanakan."
Mahessa mengangguk singkat dan langsung berlalu ke ruangannya. Begitu pintu tersebut tertutup rapat, dia melepas topi yang dipakai serta melemparnya asal ke arah sofa. Kaki panjangnya itu berjalan menuju kursi kebesarannya untuk mengistirahatkan diri. Belum juga sehari berlalu, tapi tubuhnya sudah terasa lelah luar biasa. Pengakuan Rasi benar-benar berhasil menguras tenaga dan emosinya.
Kapan terakhir kali Mahessa menangis? Ah, delapan tahun silam. Karena orang yang sama pula.
Ponsel Mahessa memutar kursi menghadap dinding kaca yang menampilkan langit siang yang cerah. Ponselnya berdenting samar ketika dirinya memutar kursi menghadap dinding kaca yang menampilkan langit cerah yang menaungi jalanan sibuk di siang hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIPLETS SERIES [1] : EVERYTHING IN TIME
General FictionTERSEDIA HINGGA CHAPTER 15 (CHAPTER 16-BONUS DI POSTING DI KARYAKARSA) Judul Sebelumnya : [TRIPLETS SERIES] 1 : Mami Rasi dan 3 Ai Delapan tahun yang lalu, Mahessa Warren meninggalkan Rasiana Virgia dengan surat cerai yang telah ia tandatangani. D...