***
Tiga hari kemudian, setelah siangnya Rasi memulangkan si Kembar dari sekolah, ia kembali mengendarai motor matiknya menuju kantor Meraki. Pekerjaan yang tidak ada hentinya itu tidak akan bosan memanggil.
Kali ini Rasi dan rekan-rekannya sedang menangani novel milik Atas Silalahi---penulis senior yang sudah berkarya selama lebih dari dua puluh tahun.
Perangainya yang ramah dan suka bercanda, membuat Atas Silalahi digemari tak hanya oleh pembaca setianya, tetapi juga khalayak umum termasuk karyawan-karyawan di Meraki Publisher. Khususnya di bagian bidang cetak, seperti Rasi dan rekan-rekannya.
Bahkan, Rasi yang tadinya tidak terlalu menyukai novel misteri, kini beralih haluan karena Atas dan karya-karya hebatnya. Pria paruh baya yang salah satu novelnya menjadi karya terlaris sepanjang masa itu sangat sederhana dan dermawan. Tidak banyak menuntut. Membuat siapa pun yang bekerja dengannya merasa betah dan nyaman.
Seperti saat ini contohnya. Ketika Rasi baru memasuki ruang cetak, keempat rekannya sudah siap keluar dari ruangan bersama Atas Silalahi.
"Eh, Mbak Rasi, datang juga kau. Mari, mari, kita makan siang dulu di warteg depan. Cemana kelen kerja kalau belum makan."
Rasi bertanya tanpa kata kepada Raka dan Adi yang posisinya paling dekat dengannya. Mereka hanya mengedik sambil tersenyum lebar.
"Terima kasih, Pak. Tadi sebelum pergi, saya sudah makan di kantin," tolak Rasi halus.
"Makan lagi saja. Kelen butuh banyak energi buat kerjain beribu-ribu buku saya."
Rasi tersenyum sungkan. "Terima kasih, Pak. Tapi saya beneran sudah makan."
Sebelum menjemput si Kembar tadi, Rasi menyempatkan makan terlebih dulu di kantin karena takut tidak akan sempat. Jalanan di jam segini sulit diprediksi. Kadang macet kadang juga bisa cepat.
Atas Silalahi mengernyit. "Makanan macam apa yang bisa buat kenyang di kantin, Mbak Rasi?"
Rasi terkekeh. "Pecel sayur, Pak."
"Bah, yang porsinya sikit kali itu?" Atas berkata dengan intonasi cukup tinggi khasnya. "Cepatlah, Mbak Rasi, kau ikut kami saja. Saya traktir sekarang. Biar nanti awak tak perlu bagi-bagi bonus royalti pada kelen," lanjut pria berdarah Batak itu dengan bahasa campur aduk.
Guyonannya berhasil membuat semua orang tertawa. Atas Silalahi tidak pernah absen memberi mereka amplop berisi percikan hasil royaltinya yang sudah cair. Ya, sedermawan itu.
Tidak enak hati untuk menolak lagi, akhirnya Rasi ikut serta. Niat baik Atas terlalu sayang untuk ditolak.
Warteg yang Atas maksud terletak tidak jauh dari kantor Meraki. Sekitar dua blok dari sini. Tidak sampai lima menit pun mereka tiba di sana dan langsung memilih makanan di etalase kaca besar. Setelah itu, mereka duduk bersisian dan berhadapan di kursi panjang.
Tidak seperti rekan-rekannya yang memilih makanan berat, Rasi hanya memesan soto ayam setengah porsi tanpa nasi.
"Jadi sudah berapa persen kelen kerjakan buku-buku awak?" tanya Atas sambil menyendokkansam bal ke sop buntut miliknya.
"Hampir 35%, Pak," jawab Raka. "Kalau saja naskah selesai lebih cepat dari meja editor, hari ini bisa saja sampai 40%."
Atas mengangguk mengerti. "Berarti proses tanda tangan masih lama, ya? Sempat saya mulak kampung dulu?"
"Sempat, Pak," jawab Rasi. "Asal jangan lupa nanti sesi tanda tangan spesial buat saya," lanjutnya bercanda.
Adi, si penggemar cerita misteri sejati, menyahut antusias. , "Benar, Pak! Kalau harus ikut antre book signing, kami nggak akan sempat."
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIPLETS SERIES [1] : EVERYTHING IN TIME
General FictionTERSEDIA HINGGA CHAPTER 15 (CHAPTER 16-BONUS DI POSTING DI KARYAKARSA) Judul Sebelumnya : [TRIPLETS SERIES] 1 : Mami Rasi dan 3 Ai Delapan tahun yang lalu, Mahessa Warren meninggalkan Rasiana Virgia dengan surat cerai yang telah ia tandatangani. D...