Pertemuan

258 30 11
                                    

Sudah hampir lima bulan semenjak kepergian ibuku. Ayah, kakek dan nenek tidak pernah pulang lagi. Apa mereka membuang kami? Ah tidak, jangan berpikir seperti itu wahai diriku. Ya kecuali aku, mereka tidak mungkin meninggalkan cucu tersayang mereka Jiro dan Saburo. Lagi anak tersayangnya ayah.

"Jiro saburo cepat turun sarapan sudah siap!" panggilku teriak gk es tehtik—

Ku dengar langkah kaki terburu-buru menuruni anak tangan dan mendekat ke arahku. Duh wajah segar mereka abis mandi dengan setelan seragam sekolah SD dan SMP, membuat mereka terlihat makin cantik— eh astaga kendalikan pikiranmu,yamada ichiro!

"ichi-nii masak apa?" melihatku kagum sembari mengarahkan pantat ke kursi depan meja makan. "he? Nii-chan bisa masak? Sejak kapan?" pagi-pagi udah di suguhi wajah bego nya jiro, ucap batin Saburo.

"ah aku hanya masak omelet.. Haha jiro, kau terlalu sibuk dengan kegiatan mu di luar sampai-sampai gk tau kalau kakakmu jago masak sejak lama" aku menyajikan seadanya dua porsi omelet untuk mereka. Mengambil susu di kulkas dan menuangkan ke dua gelas yang ada di meja makan.

"kalau lama.. Kenapa setelah kepergian ibu selalu saburo yang masak? Dan.. Waktu ibu masih hidup, nii-chan juga tidak pernah masak"

"Ugfh!"

Hampir keselek biji— maksudnya air hangat yang ku minum setelah menuangkan susu. Saburo mengangkat sendok makan dan memukulkan sendok itu ke kepalanya Jiro.  "sakit anj—", "shut up baka jiro!" teriak Saburo memotong kata-kata haram Jiro.

"orang bego kalo belajar pasti jadi pinter, kalo human yang satu ini gk. Makin belajar, bego nya malah tambah permanen."

"asw lu nyari ribut teros adek dakjal!"

"abisnya gua risih ama ke begoan, ke tololan ama ke goblokkan lu"

"ANJ—"

BUGH!

Ah tanganku gk santuy kali nabok mereka— maaf adek-adek ku yang manis, yang imut, tampan dll. Habisnya kata-kata tak mampu membuat kalian diam jadi, tabokan yang bicara. "makan, habis itu sekolah. Jangan kecewakan kakak kalian." ku elus benjolan di kepala mereka dengan lembut, sebagai permintaan maaf. Benjolannya gede, sekeras itukah pukulanku? 

Abis saliman Jiro ama Saburo berangkat ke sekolah. Aku memperhatikan daru punggung  mereka yang semakin jauh. Menghela nafas rasa syukur. Aku sangat senang kalau mereka masih terlihat baik-baik saja, walau..  Di anak-anak pada umumnya akan langsung terpuruk karena kepergian ibu mereka.

"yoshi kerjo kerjo!"

Aku kembali ke dapur, membersihkan bekas masak dan sarapan mereka. Setelah selesai, aku bersiap-siap untuk bekerjaan.

Karena merasa pintu sudah terkunci dengan kokoh, aku pun melangkah untuk mengerjakan tanggung jawabku. Langkahku terhenti saat seseorang menyapaku di setiap paginya, "a-ah ohayou tante!" seperti biasa tante itu selalu memberiku ongkos taxi, "semangat ya!" senyuman lebar yang penuh kebanggaan di berikan hanya untukku.

Walau begitu, aku terus mencoba menolak. Karena, aku merasakan tatapan tajam penuh kebencian menatapku dari balik punggung tante itu. Padahal dia tau, tapi tante nya ngeyel dan masih saja memberiku uang itu tanpa memperdulikan suaminya.

Akhirnya dengan berat hati bercampur rasa takut aku menerima nya. Tapi, uang yang selalu tante berikan tidak pernah ku pakai untuk naik taxi. Tapi malah ku tabung. Ya mungkin sekarang sudah terkumpul banyak.

Unknow |SamaIchi| Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang