Rabu

280 22 0
                                    

Naruto duduk di ruang makan keluarga Hyuuga, bersama Hinata yang sudah mengganti pakaian kantor menjadi pakaian rumahan biasa. Mereka di temani oleh ayah Hinata dan sang adik Hanabi.

Meja persegi panjang itu berisi hidangan makanan Nikujaga. Makanan Jepang yang terbuat dari daging sapi ukuran besar, kentang dan bawang bombay, lalu di rebus agar manis  dengan bumbu gula, kecap asin dan mirin.

Makan malam yang di buat oleh Hanabi.

Hinata mengambil sepotong daging sapi, dua buah kentang serta kuahnya, lalu memberikannya pada sang ayah yang duduk di depannya.

"Terima kasih, Hinata," Ujar Hiashi.

Lalu Hinata beralih mengambilnya untuk Naruto yang duduk di samping kirinya. Setelah menjemput Hinata tadi, Naruto di suruh masuk kediaman Hyuuga oleh Hanabi yang membukakan gerbang. Menggantikan Kou.

"Terima kasih, Hinata."

Hanabi mengambil makanannya sendiri. Begitu juga dengan Hinata.

Keempat orang itu makan dengan tenang, tidak ada yang berbicara. Setelah benar-benar makanan di piring habis, baru mereka diizinkan mengobrol sepuasnya.

Itu adalah tata Krama di keluarga Hyuuga. Tidak boleh ada yang bicara saat makan.

Lagi pula, memang benar 'kan kalau sedang makan tidak boleh mengeluarkan suara.

"Jadi, Naruto-niisan, Nee-sama, kenapa kalian tidak menikah saja?" Hanabi bertanya. Ia sudah sering melihat Naruto dan Hinata bersama. Ia juga pernah memergoki Naruto dan Hinata berpelukan di gerbang rumahnya.

Kenapa tidak di lanjutkan ke hubungan yang lebih serius?

"Hanabi..." Ujar Hinata dengan nada memperingatkan.

Kenapa soal menikah lagi?

"Kenapa?" Tanyanya lagi. Lalu beralih pada Naruto yang diam memandang Hanabi, "Naruto-niisan baik. Naruto-niisan juga selalu ada untuk Nee-sama," Ujar gadis berusia 15 tahun itu.

Naruto menggaruk belakang lehernya yang tiba-tiba saja gatal. Ia tidak tau mau bilang apa.

Menikah, ya?

Sebenarnya, Naruto ada niat untuk melamar gadis Hyuuga di sampingnya itu. Tapi, saat ini ia juga butuh untuk menghidupi kehidupannya sendiri.

Menghidupi dirinya sendiri saja masih sulit, apalagi kalau sudah berkeluarga?

"Ya..." Naruto-kun menjawabnya lambat-lambat, ia tidak tau harus menjawab apa.

"Hanabi. Tidak sopan berbicara seperti itu pada orang lain," Ujar Hinata, lalu beralih pada Naruto, "Maaf 'kan Hanabi, Naruto-kun."

Naruto menggeleng, mata birunya menatap lurus Hanabi yang menunggu jawabannya, "Aku akan menikahi Hinata kalau aku sudah bisa mengurusi diriku sendiri," Mengingat dirinya juga masih ceroboh.

Jawaban Naruto membuat Hinata diam. Ia tidak percaya dengan apa yang di katakan Naruto.

Hanabi tersenyum, "Janji, ya? Naruto-niisan tidak akan melihat perempuan lain selain Nee-sama."

Naruto mengangguk. Sejak mereka masih sekolah, Naruto tidak pernah melihat perempuan lain. Mereka temannya.

Termasuk Hinata.

Naruto menganggap Hinata temannya. Teman berharga yang harus di lindungi. Mereka bersekolah di tempat yang sama. Dan sudah saling mengenal satu sama lain.

Tapi, entah bagaimana perasaan itu muncul menjadi sebuah perasaan yang lebih dalam. Perasaan yang tidak di mengerti oleh dirinya sendiri.

"Baik. Aku mengerti," Ujar Naruto, dengan senyuman khasnya.

*****

Hinata dan Naruto berdiri depan gerbang rumahnya. Mengantar Naruto. Hinata tidak mengatakan apapun sejak Hanabi bertanya tentang pernikahan pada pria di depannya. Kepalanya sedikit tertunduk.

Melihat Hinata yang diam saja, membuat Naruto membuka suaranya, "Hinata."

Hinata mendongak, menatap Naruto. Pria di depannya itu tersenyum padanya.

"Maafkan Hanabi, Naruto-kun."

Naruto menggeleng, "Tidak apa-apa," Ujar Naruto, kembali berkata, "Sudah seharusnya orang-orang menanyakan hal seperti itu pada seseorang yang tumbuh dewasa."

Naruto benar. Kalau seseorang sudah dewasa yang di tanyakan adalah tentang pernikahan.

Hinata tersenyum. Walaupun sebenarnya ia tidak nyaman, orang-orang bertanya padanya tentang pernikahan.

"Aku pulang dulu ya, Hinata," Ujar Naruto, lalu berbalik menuju mobilnya. Mobil ayahnya sebelum meninggal.

Naruto membuka pintu mobilnya, ketika pria itu akan masuk, tiba-tiba  Hinata menggenggam lengan baju hijaunya, Naruto menoleh.

"Besok. Pulang dari kantor, temani aku makan, ya, Naruto-kun."

"Makan apa?"

"Ramen... Aku ingin makan ramen, Naruto-kun."

Naruto tersenyum, "Baiklah," Lagipula itu makanan favoritnya.

Hinata melepas genggaman tangannya, membiarkan Naruto masuk ke dalam mobil.

"Sampai jumpa besok, Hinata," Ujar Naruto lalu menyalakan mesin mobilnya.

"Hati-hati di jalan, Naruto-kun."

Naruto menutup jendela kaca mobilnya, lalu menjalankan mobilnya. Meninggalkan Hinata yang masih diam berdiri di tempat.

Kenapa setiap orang membicarakan tentang pernikahan, dirinya merasa tidak nyaman?

Apa karena ia belum mendapatkan seseorang yang tepat?

Atau mungkin Hinata belum siap berkeluarga?

Entahlah, Hinata juga tidak mengerti.

*****
















7 Days with Naruto-kunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang