Agak tertatih, Inara berjalan dari dapur menuju ruang tamu. Ada secangkir kopi yang di tangannya. Sembari menduduki sofa bed, Inara menaruh kopinya di meja. Barulah dia menyelonjorkan kaki-kakinya dan juga merebahkan punggung. Kehamilan yang sudah memasuki sembilan bulan membuatnya sulit bergerak, apalagi berjalan.
Sesaat wanita itu mengedarkan pandang. Ini bukan rumahnya di Bali, melainkan apartemen Narendra. Mengingat rumah itu cukup besar dan Inara cepat lelah saat bergerak, memaksanya dan sang suami pindah ke sini. Sekalian saja, Narendra akan merenovasi rumah itu dengan tambahan kamar bayi.
Baru juga hendak memejamkan mata, suara pintu terbuka mengalihkannya. Refleks, Inara menoleh. Senyum lebar wanita itu tersungging tatkala menemukan Narendra berdiri di depan pintu. Tampak santai dengan polo hitam dan celana jeans. Tangan sang suami menenteng satu plastik besar kotak makanan.
"Ra, I'm home," sapa Narendra seraya berdekat.
"Re," balas Inara. "Ayam betutuku sudah datang!"
Seketika Narendra berubah cemberut. Harusnya mendekati Inara, pria itu malah berbelok begitu saja menuju dapur. Cukup lama, akhirnya dia kembali. Ada beberapa piring yang dia angkut ke meja kopi.
"Serius nih, kamu lebih tertarik sama ayam betutu daripada suami kamu?" protes Narendra seraya menduduki sofa di sisi Inara.
Inara tergelak, lalu mengangguk. "Laper, Re. Habisnya kamu lama banget, padahal restorannya di ujung jalan sana."
"Ini minggu, Ra, mana ada tempat makan di Kuta yang sepi."
Meski tampak kesal, tapi Narendra tetap menyiapkan makanan Inara. Memindahkan nasi ke piring dan juga ayam betutu ke piring. Tanpa sambal karena sejak hamil, perut Inara mulai sensitif terhadap pedas.
"Makan yang banyak, Ra," bisik Narendra.
"Sebagai bentuk terima kasih untuk suamiku." Inara menunjuk cangkir di meja. "Aku sengaja buatin kamu kopi."
"Ah ...." Senyum lebar Narendra akhirnya mengembang. Diraihnya cangkir kopinya. Dihirupnya aroma kafein yang menguar. Lalu, melirik Inara dengan sorot penuh rasa yang tak pernah berubah sejak dulu. "Terima kasih. Aku akan selalu menyukai perpaduan kamu, kopi, senja, dan kantor, Ra."
Inara hanya tersenyum kecil. Sekarang, dua-duanya sibuk dengan makanan dan minuman di tangan masing-masing.
Cukup lama keheningan nyaman menyelimuti mereka, akhirnya piring kosong sudah berpindah ke meja kopi. Di sebelahnya, ada cangkir kopi Narendra juga sudah tersisa ampasnya.
Tiba-tiba saja Inara meremas lengan Narendra, lalu berkata lirih, "Aku juga akan selalu menyukai momen-momen aku galau Robi."
"Ra!" Seketika Narendra memelotot. Menambah girang diri Inara karena berhasil membuat sang suami sebal akibat cinta masa lalunya. "Kayaknya bentar doang kamu galauin Robinya, sisanya kamu kan pelan-pelan aku taklukan."
"Iya, iya, Pak Suami. Aku lebih banyak kena sihir kamu daripada mikirin Robi." Inara mendesah panjang. "Sayangnya, kita udah nggak bisa melakukan kegiatan itu bersama di kantor kayak dulu. Aku bakalan kangen nih."
"Mau gimana lagi, Ra, besok hari terakhir kamu di kantor dan ... anak-anak bikin acara perpisahan."
Ekspresi wajah Inara berubah sendu. Dia tidak pernah berpikir harus resign dan berpisah dengan rutinitas serta anak-anak KickAds. Dia benci perpisahan. Namun, keadaannya dan Narendra yang hanya berdua di Bali, menyulitkan Inara untuk tetap bekerja.
"Ra, jangan sedih. Kita udah bicarain masalah resign ini berulang kali, loh."
Inara mengangguk. "Iya, Re, aku paham. Aku ... hanya bakal kehilangan hal yang kusukai, rutinitas kantor, anak-anak KickAds, terutama kamu yang sok-sokan galak padahal aslinya hangat banget. Aku juga takut ... kesepian." Air mata Inara mulai menitik. "Oh ... hormon!"
KAMU SEDANG MEMBACA
BAND AID
Любовные романы[Cerita ini akan tersedia gratis pada 29 Oktober 2021] Inara tidak menyangka usahanya memutuskan untuk pindah ke Bali demi mengejar cinta sahabatnya berujung sia-sia. Di tengah sakit hati yang melanda dan disaksikan secangkir kopi, bos baru Inara me...