BLEEDING #2

32.2K 3.2K 93
                                    

If I could turn back the clock
I'd make sure the light defeated the dark
I'd spend every hour, of every day
Keeping you safe

(Calum Scott - You're The Reason)

*****

Ojek online yang Inara tumpangi berhenti tepat di sebuah bangunan perkantoran besar dengan belasan lantai. Untuk sesaat dia terkagum-kagum memandangi bagaimana megahnya kantor barunya. Ini adalah pertama kalinya gadis itu ke sini, mengingat seluruh rekrutmen perusahaan melalui online.

Perlahan Inara berjalan menuju lobi utama. Pantulan kaca di dekatnya seketika menarik perhatiannya. Mumpung belum banyak orang berlalu lalang, Inara ingin memastikan penampilannya tidak mengecewakan pagi ini; Kemeja putih di balik blazer hitam, rok pensil selutut serta heels hitam setinggi lima senti. Meskipun roknya sedikit kusut, mungkin karena tertindih di motor tadi, tapi penampilannya jelas lumayan. Tidak sia-sia Inara bangun tiga jam di awal untuk bersiap diri.

"Tenang, Inara, tenang," gumamnya pelan sembari menatap pantulan dirinya. Dihelanya napas panjang, berusaha mengatur debar jantungnya.

Segera saja Inara melanjutkan langkahnya seraya mengetatkan map di dalam pelukannya. Seorang wanita dengan senyum lebar menyapa dari balik meja resepsionis. Name tag 'Luh' terpasang di dadanya.

Wanita itu hanya meminta kartu identitas serta menanyakan kedatangan Inara ke sini. Dengan bangganya serta sedikit basa-basi, Inara menjawab pertanyaan Luh. Percakapan singkat itu segera berakhir begitu Luh membiarkannya menuju lift.

Tepat di depan lift sambil menunggu lift terbuka, Inara sengaja mengambil ponsel di tas. Dia ingin memastikan letak kantor agensinya berada. Mulutnya tanpa sadar bergumam pelan sembari membaca isi email di ponselnya.

KickAds. Lantai 7. Find a Rose around.

Alisnya mengernyit. Find a rose? Ha, maksudnya? Batinnya. Bersamaan itu pula dentingan lift terbuka mengalihkan perhatian Inara. Tanpa memperhatikan sekitar, buru-buru dia memasukinya. Gadis itu baru menyadari keberadaan orang lain bersamanya saat sebuah tangan tiba-tiba mendahuluinya untuk menekan tombol lantai tujuh.

Refleks Inara menengadah, mencari tahu. Tanpa bisa dicegah matanya mengerjap menemukan pria asing berdiri di hadapannya. Tinggi, Inara hanya selehernya padahal gadis itu yakin dia hampir 170cm. Perhatiannya beralih pada wajah pria tersebut. Kata-kata seolah hilang di kepalanya. Inara tanpa sadar memperhatikan pria itu terlalu detail; kacamata hitam berbingkai kotak, mata gelap tampak tajam, bibir merah mudah cokelat, bekas cukuran yang masih menyisakan sisa cambang di sekitar pipinya. Inara seperti tersihir melihatnya.

Inara mungkin jatuh cinta kepada Robi, tapi Inara tidak akan menampik bahwa pria di hadapannya ini benar-benar tampan. Hati boleh memilih kepada siapa kita jatuh cinta tapi bukan berarti kita dilarang mengagumi ketampanan lain yang Tuhan ciptakan di bumi, bukan?

"Lantai?" Suara berat pria itu berhasil menyentak gadis itu.

"Eh ... sama. Eh ... maksudku lantai tujuh juga." Seketika dia memaki dirinya sendiri ketika menyadari bahwa dia gugup di depan pria itu.

Kesan pertama yang buruk sekali, batin Inara.

Untungnya pria itu tidak lagi bersuara. Sepersekian detik keheningan, Inara baru menyadari satu hal. Jika pria asing ini menuju lantai yang sama maka besar kemungkinan mereka akan bekerja di tempat yang sama. Inara yang tadinya mundur, tiba-tiba saja bergerak mendekat. Diteguhkan niat, hari pertama setidaknya harus punya teman baru. Handsome is a bonus.

"Hai, kerja di KickAds juga?" Inara memberanikan diri kembali bersuara.

Pria itu mengangguk pelan tanpa bersusah payah menoleh padanya. Inara berdeham pelan, merasa baru saja ditolak padahal ini hanya sekedar basa-basi ringan. Dia jadi mempertanyakan niatnya untuk memiliki teman baru.

BAND AIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang