Chapter 6

398 49 3
                                    

Setelah kejadian di rumah pohon itu, bercinta merupakan bagian dari interaksi mereka. Tak satu pun dari keduanya yang berani membahas tentang apa yang terjadi di antara keduanya. Bahkan ketika Mean pulang ke Thailand, Plan tak berbicara apa-apa soal hubungan mereka itu.
Ia menjalani kehidupannya seperti biasa, merawat Dew dan Sun dan Nune.

Berbeda dengan Plan, Mean lebih  sigap dan memikirkan tentang hubungan mereka. Ia tahu bahwa kompetitornya dekat dengan Plan dan ia tak mau sampai Plan bersamanya. Jadi, ia rajin hampir setiap waktu menelepon Plan dan menanyakan kabarnya.

"Kau sudah gila meneleponku setiap waktu. Apa kau tak punya pekerjaan?" ujar Plan suatu hari saat ia merasa Mean terlalu sering meneleponnya.

"Aku rindu padamu. Kau tak merindukan aku?" rajuk Mean.

"Astagaaa! Kau tak tahu malu," ujar Plan. Ia menutup telepon dan kemudian tersenyum sendiri.

Mean mencoba menelepon Plan lagi. Namun, Plan tak mengangkatnya. Ia semakin kesal. Ia menelepon Dew dan meminta Dew memberikan Hpnya kepada Plan.

"Kau benar-benar sudah gila!" Bisik Plan dan ia mematikannya.

"Mae,  kurasa Paman Mean menyukaimu," komentar Dew. Plan hanya diam dan wajahnya memerah.

Sudah genap setahun pengobatan Nune dan ia sudah diizinkan untuk pulang. Pengobatannya berhasil. Ia bisa sembuh tapi ia tak boleh melupakan untuk meminum obat dan kontrol secara teratur ke rumah sakit.

Plan bahagia. Ia merencanakan liburan dengan Nune dan anak-anak sebelum pulang ke Thailand. Tak disangka Mean menyusulnya dan Mean ikut dalam liburan mereka. Tak jauh memang. Hanya dua jam dari Helsinki. Mereka menyewa sebuah cottage yang mirip dengan igloo sehingga mereka bisa melihat pemandangan yang indah pada malam hari. Mereka juga sempat berpikir siapa tahu mereka bisa lihat Aurora dan menjadikan ini sebuah pengalaman liburan yang hebat.

"Meaaan, ada ibu," bisik Plan saat Mean mulai mencumbunya.

"Sudah tidur. Ayolah! Aku kangen," desah Mean.

Plan hanya diam. Dia melihat ke arah kamar ibunya dan kemudian pada anak-anak yang tidur di ranjang sebelah mereka.

Plan akhirnya menganggukkan kepalanya. Mereka berciuman lama dan Mean menyusup ke balik selimut dan melakukan yang membuat Plan menggelinjang hebat pads bagian gunung kembarnya. Ia menahan desahan saat Mean mengulum dam menjilati bagian di antara selangkangan Plan yang mencuat itu sampai akhirnya Plan mencapai orgasmenya.

Mereka berciuman sambil mendesah pelan, menekan suara kenikmatan itu sambil terus bergoyang pelan. Sungguh mereka tak ingin membuat keributan.

"Meaaaan, nnnngh," desah Plan di telinga Mean dan Mean yang mendengarnya semakin liar menggoyang dan tak lama kemudian keduanya jatuh terkulai merasakan kenikmatan yang sudah pada puncaknya. Keduanya mengatut desah napas mereka dan merapikan dirinya. Mean mencium kening Plan dan itu membuat Plan kaget.

"Aku sudah selesai dengan Dream dan semuanya sudah lebih baik sekarang. Dan aku menyadari satu hal dalam hatiku," ujar Mean sambil menatap Plan. Plan menatap Mean dengan wajah yang kaget. Namun, ia tak merespons yang dikatakan Mean.

"Aku jatuh cinta kepadamu, Plan," bisik Mean. Plan membelalakkan matanya.

"Meaaan, aku ..., uhm," bisik Plan. Ia membalikkan tubuhnya. Ia bahagia Mean mengatakan cinta kepadanya, tapi ia juga takut bahwa Mean hanya menjadikannya pelampiasan saja. Ia baru saja patah hati. Bisa saja ia bingung dengan perasaannya sendiri.

"Aku tak bingung dengan perasaanku sendiri, Plan," ujar Mean seolah bisa membaca pikiran Plan. Plan melotot, tapi, ia masih pada posisinya, membelakangi Mean.

"Sejujurnya, aku menyukaimu sejak awal aku mengenalmu. Mae tahu dan ia mencoba memperingatkan aku tentang hubunganku dengan Dream dan tentang siapa kami dan kau. Aku sangat tahu diri. Jadi, aku menahannya," sahut Mean lagi.

Plan kaget. Ia membalikkan tubuhnya dan menatap Mean dalam seolah mencari kebenaran di sana.

"Benarkah yang kau katakan itu? Mae tahu tentang ini?" Plan memastikan.

"Dia seorang ibu. Instingnya kuat. Dia pernah bilang kepadaku. Mengapa Tuhan mengirim kau kepada kami dan ia pikir mungkin Tuhan mengirim kau untukku, tapi aku punya Dream dan lalu kau begitu dekat dengan Mae dan anak-anak dan Mae pikir Tuhan menjawab doanya sebab ia mendapat banyak kebahagiaan darimu. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia berdoa kau akan menjadi bagian dari hidupku, meski ia tahu bahwa aku mempunyai Dream di sampingku," sahut Mean lagi.

"Mean, aku juga menyukaimu sejak pertama kita bertemu, tapi aku tahu kau sudah dimiliki. Apakah karena itu kau selalu menghindari kebersamaan kami?" Plan menatap Mean lagi.

"Iya, aku takut. Aku sangat takut tak bisa menahan diriku dan perasaanku dan aku tak mau menyakiti Dream ataupun kau," sahut Mean.

"Tapi sekarang aku sudah selesai dengannya dan kau sendiri tahu yang terjadi di antara kami. Jadi, maukah kau memulai hubungan denganku. Aku tahu diriku. Aku hanya seorang manajer menengah di perusahaan mobil dan aku hanya punya diriku dan keluargaku yang mungkin akan jadi beban untukmu, tapi, aku janji, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan dirimu. Tolong berikan aku kesempatan. Kalau kau mau, kita bisa menjalaninya pelan-pelan. Dan kau bisa melihat dan menilai kesungguhanku kepadamu," sahut Mean lagi sambil mengelus wajah Plan lembut.

"Meaan, aku juga mencintaimu. Aku bahagia dengan apapun yang kau punya. Aku janji apapun keadaannya aku tak akan pernah meninggalkanmu," sahut Plan sambil tersenyum.

"Ah, itu sangat penting. Aku juga janji, hanya ada kau dalam hidupku tak ada wanita lain," sahut Mean.

"Kau salah. Aku dan Mae dan anak-anak dan anak-anak kita," sahut Plan.

"Eh apa? Anak-anak kita," sahut Mean kaget. Plan menganggukkan kepalanya.

"Aku hamil. Sudah hampir dua bulan," sahut Plan.

"Benarkah?" Mean kaget. Wajahnya sumringah.

"Iya. Kita sama-sama tak memakai pengaman saat melakukannya di rumah pohon, bukan?" Plan berkata lirih.

Mean menganggukkan kepalanya.

"Kau tak apa-apa dengan kehamilan ini, bukan?" Mean bertanya.

"Tentu saja. Aku bahagia," sahut Plan. Mean tersenyum.

"Rak Plan," bisik Mean sambil mencium kening Plan dan memeluknya erat.

"Rak Mean," ujar Plan sambil tersenyum bahagia.

"Sekali lagi," bisik Mean. Plan menganggukkan kepalanya.

Bersambung



LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang