Keesokan harinya, Nune dan anak-anak duduk di tepi ranjang menatap pasangan yang masih bergelung dalam selimut dengan mata yang terpejam. Mereka berdehem membuat Mean dan Plan yang tidur berpelukan bangun.
"Aduuuh!" Mean langsung menggaruk kepalanya.
"Mae," teriak Sun dan ia merangkak ke arah Plan dan duduk di pangkuannya.
"Mae-ku," sahut Sun sambil memukul Mean. Rupanya ia marah karena Mean memeluk Plan saat tidur. Mean tersenyum dan mengelus kepala Sun.
"Euh, ibumu, dia istriku," sahut Mean sambil menunjuk Plan.
"Ehem," ibu dan Dew berdehem.
"Akan kujelaskan. Tenang dulu! Beri aku kesempatan untuk minum dulu, na!" sahut Mean sambil menggaruk kepalanya pelan dan ia kemudian menuruni ranjang dengan hanya memakai celana pendek.
"Astagaa Mean," ujar Nune dan ia menutup mata Dew.
"Maaf!" ujar Mean dan Plan tergelak.
***
"Hamil?" Nune kaget. Mereka berbicara setelah sarapan pagi. Kedua anak sedang asyik bermain di salju."Anakku, Mae," ujar Mean bangga.
"Kalian, uhm, selama ini, ...," ujar Nune lagi.
"Maafkan aku, Mae. Aku menyukai Mean sejak pertama bertemu, tapi aku tak berani untuk mengungkapkannya karena aku tahu Mean punya seseorang yang berharga untuknya," ujar Plan menukas pembicaraan Nune.
"Aku tahu. Aku sudah bisa menduganya sejak awal. Mean juga sama. Dia juga menyukaimu sejak awal bertemu. Aku melarangnua memiliki perasaan itu kepadamu. Aku tak mau Mean menyakiti perasaanmu atau Dream. Kau harus paham aku ini seorang ibu dan juga seorang perempuan. Kau perempuan yang baik Plan. Aku tak mau orang menyebutmu pelakor karena aku sedih kalau orang bilang kau seperti itu. Bagiku kau sudah seperti anakku. Aku sangat sayang kepadamu," ujar Nune.
"Mae, terima kasih," sahut Plan lagi sambil memegang tangan Nune. Mereka berpelukan. Mean tersenyum.
"O, aku bahagia. Kita menjadi keluarga," sahut Mean.
"Aku bahagia karen Mae sembuh. Aku belum siap untuk kehilangan," sahut Plan sambil mengistirahatkan kepalanya pada bahu Nune. Nune tersenyum sambil mengelus punggungnya.
"O, Baby," ujar Mean. Ia mencium tangan Plan lembut.
Mereka menikmati liburan mereka di Finlandia. Setelah itu, mereka terbang ke Thailand. Plan berbicara dengan Gong dan New. Tentu saja mereka bahagia plus Plan sudah hamil pula. Gong dan New langsung menarik Mean ke perusahaan dan mulai melatihnya tentang perusahaan.
O, Mean sangat kaget tentang ini! Ia tak pernah berpikir bahwa ia akan memimpin ribuan karyawan dan duduk di sebuah kursi yang dilabeli kursi direktur.
"Maafkan aku, na! Aku memberimu beban ini. Kuharap kau mengerti bahwa kehidupanku tidak sesederhana yang kau pikir. Aku pewaris dari semua ini," sahut Plan setelah Mean terlihat kewalahan pada hari ketiga orientasi perusahaan.
"Ah, tidak apa-apa. Mudah-mudahan aku mampu melakukannya, na!" sahut Mean lagi sambil tersenyum.
"Su su, na! Aku selalu mendukungmu," ujar Plan lembut.
"Uhm," gumam Mean.
"Mean, sini sebentar," ujar Gong. Mean menganggukkan kepalanya. Ia beranjak dari duduknya dan datang menuju Gong. New mendekati Plan dan duduk di sebelahnya.
"Phi, aku mau minta bantuanmu," sahut Plan.
"Apa?" New menatap Plan dengan penasaran.
"Bisakah kau memeriksa seseorang. Tolong jangan sampai Mean dan keluarganya tahu," sahut Plan.
"Siapa?" New mengernyitkan alisnya.
"Dream. Dia mantan pacar Mean, uhm, seseorang mengirim Mean dokumen beberapa bulan lalu tentang Dream. Aku ingin mengecek kebenarannya dan jika memungkinkan aku ingin tahu siapa pengirimnya dan apa motifnya," ujar Plan.
New menganga. Dia bisa bantu mencaritahu yang terjadi kepada Dream sekarang, tapi mencari pengirim dan motifnya itu sangat tidak mungkin diungkap sebab dia dan Gong ada di balik semuanya.
Mereka hanya gemas sebab Mean dan Plan belum juga jadian. Jadi, mereka melakukan sesutu untuk membuat mereka lebih cepat dekat. Sekarang mereka sudah berhasil melakukannya.
"Baiklah, akan kulakukan," ujar New. Ia menjawab itu agar Plan tenang. Plan tersenyum sumringah. Mereka pun berbincang tentang hal lainnya, khususnya pernikahan.
***
"Kau sudah pulang?" Plan tersenyum sambil menoleh saat Mean memeluknya dari belakang."Anak-anak sudah tidur?" tanya Mean pelan. Ia mencium leher belakang Plan. Plan menganggukkan kepalanya.
"Mae?" tanya Mean lagi.
"Sudah tidur juga," jawab Plan.
"Yes!" Mean sumringah.
"Mandi dulu," bisik Plan.
"Iya," bisik Mean.
Mereka berciuman lama. Mean masuk ke dalam kamarnya. Ia langsung menjinjing handuk ke luar menuju kamar mandi.
"Kau sudah makan malam?" Plan bertanya.
"Iya. Phi New dan Phi Gong mentraktirku. Kau tak marah aku makan malam dengan mereka, bukan?" tanya Mean manja. Ia memeluk Plan lagi.
"Tidak. Mandi, buruan," sahut Plan.
"Iya, mau. Kau menggodaku terus," bisik Mean dan ia mencuri satu ciuman lagi di pipi Plan lalu pergi ke kamar mandi.
"Ini pertama kalinya aku tidur di kamarmu," sahut Plan sambil merebah di samping Mean.
"Memang hanya kau yang pernah masuk ke kamarku dan Mae," sahut Mean. Mereka tidur berhadapan. Mean mengelus wajah Plan yang kaget.
"Hanya aku dan Mae?" Plan bertanya penasaran.
"Dream tak pernah masuk ke sini. Kalau berkunjung ke sini biasanya hanya tunggu di depan rumah," sahut Mean.
"O, kenapa?" tanya Plan heran.
"Dulu ia bilang malu, sekarang yang aku tahu karena ia memang tidak suka bau anak kecil," sahut Mean lagi.
"Ah, begitu," sahut Plan.
"Jangan bicarakan orang lain lagi. Aku rindu kepadamu," bisik Mean. Plan tersenyum dan mengangukkan kepalanya.
Mereka berciuman dan bercumbu cukup lama dan perlahan-lahan, Mean menanggalkan pakaian Plan dan ia sungguh terlihat cantik.
"Kau cantik sekali," desah Mean sambil meneguk ludah. Tatapannya dari atas ke bawah dan bawah ke atas. Biasanya saat mereka melakukannya, lampu selalu dalam keadaan gelap. Sekarang, lampu menyala dam Mean bisa dengan mudah melihat betapa mulusnya tubuh perempuan yang ia miliki itu. Sungguh ia sangat beruntung!
"Mean, malu! Jangan berkata yang tidak perlu," sahut Plan sambil memalingkan wajahnya yang memerah.
"O, kau imut sekali!" Meam semakin tertawan. Ia mencium Plan dan mereka mendesah lagi malam itu meski pelan sebab mereka berada di rumah.
Bersambung
