Maaf bila penempatan lokasi dan kuliner salah.
Cerita ini murni hasil imajinasi penulis.
Karena penulis sendiri belum pernah menginjakkan kaki di London😂
Untuk menyokong cerita, penulis berusaha menghadirkan suasana yang penulis bayangkan dengan mencari sumber-sumber informasi melalui internet.
Bila ada yang tau pasti bagaimana lokasi dan kulinernya, jangan sungkan-sungkan untuk berkomentar.Selamat membaca.
Gadis itu--Sophia--adalah tetangganya--Abigail, teman dekatnya, dan rekan kerjanya di kantor. Gadis yang ceria. Abi tak memiliki rasa bosan bila berbicara dengan Sophia. Dia aktif berbicara, dan selalu merespon dengan serius tetapi diselingi candaan. Sepanjang perjalanan pun, Sophia yang aktif bercerita mengenai keinginannya untuk segera pergi berlibur menyusul kakaknya ke Norwegia. Gadis dengan penuh harapan.
Dari jarak sekitar 200 meter tempat Abi duduk bersama Sophia di mobil, terlihat kantor surat kabar dengan gaya artistik berdiri tegak. Kantor tua dengan empat lantai itu terlihat menawan dengan dikelilingi taman kecil, bangunan artistik itu menghadap ke arah timur, menurut kebanyakan orang, bangunan yang menghadap timur adalah bangunan keberuntungan. Dikanannya berdiri kantor penerbitan, berjejer dengan kedai kopi. Di sebelah kirinya ada kantor polisi. Diseberang kantornya ada kedai khas Turki 'Abizard Dükkan', di kirinya ada hotel tua yang sudah berdiri dari tahun 1879, dan di kanannya ada galerry seni klasik. Tempat yang strategis.
Abigail segera keluar mobil setelah berhenti di depan lobi kantornya. Di depan matanya sudah berdiri bosnya--Garrick--yang melempar sapaan kearahnya. Garrick adalah temannya, juga bosnya.
"Pagi, Garrick. Hm. Sedang menerapkan 'bos yang perhatian' pada karyawanmu?"
Respon yang diberikan kepada Abigail hanyalah tawa keras. Garrick menyodorkan lembaran berita yang belum disunting ke arah Abigail. Abigail hanya menaikan alisnya melihat lembaran dari Garrick.
"Aku ingin kau menyunting berita itu, Abi. Dan setelah itu, tolong antar ke percetakan sebelah. Siapa tau mereka mau mencetakkan untuk kita"
Abi mengangguk sekali untuk menyapa rekan kerjanya yang baru saja lewat. Matanya kembali menatap awas lembaran yang dia pegang. Jika sudah seperti ini, dia yakin, akan ada rentetan pekerjaan panjang yang akan dia tangani hari ini, atau bahkan besok, besok, dan besoknya lagi. Matanya menatap tembus ke pintu masuk, melihat rekannya yang lain sudah sibuk berjalan kesana sini.
"Apa yang terjadi dengan mesin cetakmu? Kau menumpahkan kopi diatasnya lagi?"
"Aku yakin dia hanya beralasan, dia pasti malas menyunting berita hari ini.
Oh, selamat pagi Garrick! Senang melihatmu berdiri di depan pintu masuk! Kau sangat perhatian dengan karyawanmu sekarang".Sophia berjalan santai menuju tempat Abigail berdiri. Berpura-pura menyapa Garrick untuk menyindirnya. Tas jinjingnya ia angkat setinggi bahu. Kacamata hitam masih melekat di matanya. Garrick menolehkan kepalanya sekilas.
"Aku senang kau memperhatikanku, Sophia. Tapi, yah. Kau tau, aku harus menyunting banyak berita. Jadi aku mengandalkan Abigail untuk membantuku"
"Dan ya Abi. Mesin ketikmu sudah sangat tua. Tidak kah kau ingin menggantinya dengan yang baru? Kantor kita cukup memiliki dana untuk membelinya"
Abigail membalik lembarannya. Membaca berita yang tertera pelan. Kepalanya mengangguk menyanggupi untuk menyunting. Sempat menjawab pertanyaan bosnya--Garrick--singkat.
"Tidak. Aku menyukainya".
***
Abigail menata kertas berisi berita yang baru selesai ia sunting dan ia ketik kembali. Napasnya berhembus pelan. Menggambarkan lelahnya setelah duduk berjam-jam di meja kerja. Abigail berdiri dan keluar dari ruangannya. Dilihatnya ruangan bagian penyunting yang sibuk berjalan kesana kemari dengan membawa tumpukan kertas dalam kardus. Sangat sibuk dan padat. Sempat menyapa Ava--rekannya bagian pewarta foto--yang tengah memindahkan lembaran foto dalam ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Choice
عاطفيةDON'T COPYRIGHT MY STORY Abigail van Gogh, gadis blasteran Inggris-Belanda. Bekerja sebagai seorang jurnalis di sebuah kantor surat kabar di London. Hidupnya terasa sempurna. Sampai tunangannya memilih berpisah darinya. Semua terasa berantakan, mem...