Bag. V

4 0 0
                                    

Kantor percetakan di samping tempat kerja Abigail adalah kantor tua. Umurnya mungkin hampir sama tuanya dengan kantornya sekarang. Bangunan klasik dengan tinggi dua lantai itu sudah banyak mencetak novel-novel berkelas. Penulis-penulis terkenal pernah lahir di percetakan itu. Kantor itu juga sudah berkali-kali serah-terima kepemilikan, meski begitu, keaslian dan ciri khas dari hasil terbitan tetap sama. Sekarang kantor tempat Abigail mencetak surat kabar itu dipegang oleh Ammar, lelaki asal timur tengah yang dikenal banyak orang sebagai sosok yang ramah.

Ruang kerja Ammar sangat luas, tetapi terlihat sedikit sempit berkat tumpukan kardus penuh kertas. Dari pola T pada bangunan, Ammar menempati ruangan di ujung lorong. Jendelanya mengarah langsung pada jalan raya di belakang bangunan. Dalam etalase kaca di sisi kanan dan kiri ruangan, berjejer buku-buku terbitan lama sampai terbitan sekarang. Di pojok ruangan samping etalase berdiri dua patung dada dari marmer, perwujudan dari tokoh dewa Yunani. Sungguh berkelas. Ruangan Ammar seperti baru berganti cat, dilihat dari halusnya cat dan aroma yang menguar seperti cat basah. Cat warna krem yang terlihat elegan dan smooth.

"Boleh kulihat naskah beritamu, Abi?"

Abigail menoleh cepat. Ditarik kembali setelah mengamati ruang kerja Ammar. Dengan sedikit cepat, Abigail menyerahkan naskah. Kepalanya sedikit mengangguk, bersamaan dengan jawabannya untuk pertanyaan yang dilontarkan Ammar. Abigail melihat novel karya Arthur Carrington.

"Boleh aku melihat novel itu?"

Ammar mendongak, mengikuti arah tatapan Abigail. Matanya menangkap novel yang baru dicetak kemarin. Ingatannya tertuju langsung pada penulis muda berbakat yang menemuinya pekan lalu. Mengangguk pelan, memperbolehkan Abi melihat. Dan kembali fokus membaca berita yang dibawa Abi. Sedangkan Abi, dia menatap penuh kagum novel yang dipegang. Melihat sampul, dibagian bawah tertulis jelas nama penulis dengan warna emas. Novel itu sangat tebal, mungkin sekitar 7 sentimeter. Membuka halaman ketiga terdapat penggalan dari cerita__

__"aku pastikan akan selalu melihatmu tersenyum walau dalam rasa sakit sekalipun, kebahagianmu adalah aku, bukan orang lain"__

"Novel romansa?"

"Bukan. Awalnya aku juga mengira jika itu novel romansa. Tapi, jika kau sudah sampai dipertengahan cerita, iku bukan romansa"

"Kurasa, aku harus segera membelinya. Aku ingin segera tahu, novel jenis apa ini"

"Sayangnya, novel ini ditunda publikasinya"

"Apa? Kenapa?"

"Mungkin kau bisa menanyakan langsung pada penulisnya. Pekan depan, dia datang"

Abigail mengangguk, keinginan terbesarnya adalah, bisa bertemu penulis favoritnya. Bercakap-cakap langsung dan meminta tanda tangannya.

"Baiklah, Abi. Karena kau sudah menyuntingnya. Kami bisa mencetaknya. Kapan kalian menerbitkannya?"

"Kurasa dua hari ke depan surat kabar ini sudah kami sebar"

Ammar melihat jam dinding diatas pintu masuk ruangannya. Pukul 12:20. Hampir mendekati waktu makan siang. Amar mengajak Abigail untuk keluar menuju ruang utama kantor. Dari pintu ruangannya, Ammar bisa langsung melihat ruangan utama. Sepi. Kembali melewati lorong panjang, sesekali menyapa anggotanya yang masih sibuk mengetik.

"Terimakasih sudah mau menyanggupi permintaan kami, Ammar. Aku pamit kembali ke kantor"

"Tunggu, Abi. Sudah hampir mendekati waktu makan siang. Bagaimana jika kita mencari menu bersama? Kau mau pergi bersama, Colette?"

Jawaban Colette terdengan kaku, mungkin menjadi salah satu reaksi keterkejutan gadis itu. Meskipun begitu, dia mau bergabung. Sempat ragu, Abigail menerima ajakan tersebut. Sebelum pergi, Abigail undur diri sebentar untuk mengabari ketidak hadirannya dalam makan siang bersama Sophia.

***

Jam makan siang sungguh padat. Jalan raya St. Rosdry terlihat padat dengan pejalan kaki, para pekerja seperti karyawan surat kabar, polisi, dan penghuni hotel keluar untuk mencari menu makan siang. Dengan menyeberang jalan, mereka bertiga--Abigail, Ammar, dan Colette--memasuki pelataran Abizard Dükkan. Kedai makan milik orang timur tengah, pintu masuk kedai yang lebar tampat padat pengunjung. Dari pelataran kedai, aroma masakan khas Turki sudah tercium.

"Ramai sekali. Kita bungkus saja, dan singgah di kedai kopi. Bagaimana?"

Tawaran yang sempurna untuk bebas dari keramaian. Abigail menyusul Ammar yang masuk ke kedai. Meninggalkan Colette yang memilih menunggu di pelataran. Begitu masuk, aroma roti yang dipanggang menari bersama aroma daging domba yang dibakar. Pandangan Abigail berkeliling, tampak di sisi barat dapur dengan dua pintu tidak benar-benar tertutup, karyawan yang keluar masuk terlihat sibuk membawa roti. Abigail mengikuti langkah Ammar yang mendekat pada meja dengan banyak tusukan daging.

"Kau ingin apa, Abi?"

Abigail menoleh ke kiri, membaca daftar menu yang tertulis. Pilihannya jatuh pada Baguette Kokoreç--makanan asal Turki yang terbuat dari usus domba atau kambing yang dililit membungkus jeroan dan dimasak dengan cara dibakar--dengan permintaan tambahan potongan paprika.

 Pilihannya jatuh pada Baguette Kokoreç--makanan asal Turki yang terbuat dari usus domba atau kambing yang dililit membungkus jeroan dan dimasak dengan cara dibakar--dengan permintaan tambahan potongan paprika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Baguette Kokoreç

Abigail kembali mengamati tukang saji yang menata pesanannya lalu membungkusnya. Setelah membayar dengan beberapa lembar uang, Ammar dan Abigail kembali keluar. Menemui Colette yang menunggu di luar, dan menyerahkan pesanan gadis itu. Hari yang ramai dan sibuk. Abigail berharap hari kedua dalam seminggu yang melelahkan ini segera berakhir.

___
Bagaimana pendapatmu tentang part kali ini?

Regard,

ayu.rahmawati

T.Galek, 8 November 2020

My ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang