Bag. III

13 3 0
                                    

London, 20 April 2008

Angin pertengahan musim semi berhembus pelan. Membawa wangi bunga menuju pinggiran kota London. Menuju kawasan perumahan St. Lumier. Setiap jendela sudah terbuka. Semua rumah berukuran sama, berdinding kayu coklat. Penggambaran sempurna untuk kehangatan keluarga.

Wangi bunga menyusup dalam salah satu rumah dari jejeran barat, masuk dengan hening. Mendekati gadis yang tengah menatap duplikat dirinya dalam cermin. Jendelanya sudah terbuka, gorden biru transparan berayun pelan, kedepan dan kebelakang. Seakan ikut menari bersama angin.

Dari dalam ruangan, melalui jendela, dia bisa melihat kegiatan orang-orang yang berjalan di depan halaman rumahnya. Pak tua Grissham si pengantar surat, nyonya Deborah tetangganya yang ramah, Alice yang mengendarai sepeda, nyonya Ester yang menerima paket, Mr. Dalbert yang mencuci mobil, Cleve yang berteriak pada saudaranya dari lantai dua, dan Halu tetangga samping kanannya yang melambaikan tangan padanya.

Jam weker warna putih di samping ranjangnya menunjuk pukul 07:18. Pagi yang ramai. Setelah memastikan penampilannya sekali lagi dan memakai jam tangan di tangan kiri, gadis itu keluar dari kamarnya di lantai dua. Pundak kirinya sudah digantungi tas kecil berwarna coklat. Menuruni tangga dengan perlahan, kepalanya menoleh ke arah dapur.

Aroma omelet telur mulai menguar dari dapur. Panggangan roti yang berdenting, mengeluarkan roti tawar kecoklatan. Terdengar nyanyian pelan dari arah dapur, hampir mirip orang berbisik, suaranya kecil. Sekali melirik pun, setiap orang tahu bahwa meja makan sudah penuh dengan hidangan. Sosis goreng, tumpukan roti panggang, roti tawar, bacon, selai kacang, omelet telur, buah apel dan jeruk, satu teko kaca penuh air putih, dan dua piring putih yang masih kosong. Gadis itu--Abigail--menyusuri lorong pendek menuju ruang makan. Kakinya masil polos tanpa sendal atau sepatu.

"Selamat pagi, mom"

Wanita yang bersenandung itu--Catherin--menoleh, tersenyum ramah pada Abigail. Diangkatnya teflon berisi omelet, memindahkan pada piring.

"Pagi Abi, habiskan sarapanmu, jangan sampai terlambat"
"Kau ingin susu atau kopi, Abi?"

Penuh kehangatan. Itulah penggambaran suasana meja makan keluarga Abigail. Meja makan panjang dengan enam kursi itu hanya diisi dua orang setiap harinya. Terlihat sepi, tapi terasa selalu hangat. Angin musim semi itu masih berputar di rumah Abi, berhembus pelan menuju ruang keluarga, menyibak gorden jendela, membuat cahaya terang dari luar menyorot foto seorang lelaki diatas perapian.

***

Setelah berpamitan pada ibunya, Abigail keluar rumah, melewati halaman rumahnya yang luas dengan diiringi lambaian bunga sepanjang ia melangkah. Matanya melirik kearah kiri, pojok depan halaman rumahnya, dua pohon Ash tumbuh berjajar, dengan dua ayunan kayu kecil di tengahnya. Si kembar Arley dan Arlie--anak Mr. Dalbert--biasanya sering bermain di sana setiap sore. Ayunan itu seharusnya hanya satu, yang merupakan ayunan masa kecil Abi, tetapi, untuk menghindari pertengkaran si kembar seperti musim gugur tahun lalu, Mr. Dalbert membuat satu ayunan lagi.

Terlepas dari itu semua, Abigail merasa tenang, setidaknya ibunya tidak kesepian selama ia bekerja. Menutup pintu pagar, Abi berbalik melangkah menyusuri jalur pejalan kaki. Melihat jam di tangan kirinya, jarum jam masih menunjuk pukul 07:26. Abigail kembali berjalan. Rumah Abigail terletak di tengah barisan bagian barat. Rumah nomor 8. Karena halaman setiap rumah luas, jarak rumahnya dengan pintu masuk perumahan menjadi lumayan jauh. Sesekali Abigail berhenti untuk menyapa tetangganya.

Seingat Abi, rumah nomor 4 masih kosong. Tapi, pagi ini rumah itu sudah di isi keluarga baru. Mobil sport putih mengkilap terparkir di halamannya. Kardus-kardus besar ciri khas orang pindahan, terlihat menumpuk di halaman. Seorang wanita muda menghampirinya, mengenalkan dirinya sebagai nyonya pemilik rumah, namanya nyonya Beck.

"Mampirlah kapan-kapan nona Abi. Aku senang menerima tamu. Tehku cukup banyak untuk menjamu ketika kau mampir"

Nyonya Beck terlihat ramah. Beliau seperti orang murah senyum.

"Terimakasih nyonya Beck, aku senang mendapat tawaranmu, bahkan lebih senang bila bisa merealisasikannya. Tapi aku sungguh sibuk, bila ada kesempatan, aku pasti berkunjung"

"Kau memang wanita karir. Kau bekerja dimana nona Abi?"

"Abi saja nyonya Beck, semua orang memanggilku Abi. Dan soal pekerjaan, aku bekerja di kantor surat kabar nyonya"

"Benarkah? Itu pasti pekerjaan yang kau cintai, sampai-sampai kau tidak punya waktu untuk berkunjung ke rumahku"

Tersenyum sopan, Abigail menjawab perkataan tetangga barunya.

"Tidak juga, nyonya. Akan kupastikan aku punya waktu di akhir pekan mendatang untuk berkunjung ke rumahmu"

Perbincangan yang normal untuk menyapa tetangga baru, Abi memilih undur diri, berpamitan dengan sopan, dan kembali berjalan menuju gerbang perumahan untuk menunggu taksi.

Sebuah mobil mini cooper hitam berhenti di samping Abigail tepat. Dia mengenali mobil ini. Kaca mobil turun perlahan, memperlihatkan gadis seumuran Abi tengah menyetir dengan wajah angkuh. Kacamata hitam menutupi matanya. Tersenyum lebar menatap kearah Abi.

"Kau terlihat butuh tumpangan, Abi"

"Aku percaya ucapan Garrick sekarang, kau memang menyebalkan hanya dari melihat, Sophia"

________
Apa tanggapan kalian tentang part III ini?
Jangan lupa tinggalkan jejak untuk menghargai penulis.

Terimakasih sudah mau membaca.
Kita lanjut part IV lain hari.

Regard,

ayu.rahmawati

T.Galek, 5 November 2020

My ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang