Bab 17

115 9 1
                                    

Gina sudah kehilangan kesabaran. Dia tak ingin pertunangannya dengan Bisma sampai gagal hanya karena perbuatan Larasati. Gadis ini harus disingkirkan sementara. Nanti, jika dia sudah mengikat janji sehidup semati dengan Bisma, Larasati baru akan dia ambil kembali. Tidak mungkin dirinya sanggup untuk merawat Larasati sendirian.

Masih segar diingatan bagaimana setiap perbuatan Larasati yang lepas kendali. Gadis ini begitu liar di mata Gina. Apa pun tindakan yang diusahakannya tidak akan berhasil jika tidak dibantu. Bisma adalah satu-satunya harapan setelah ayah kandung Laras bahkan mencampakkannya.

Mungkin Asih akan menolak. Namun, Gina yakin, jika Asih diberi pengertian tentang pernikahannya dengan Bisma, tentang bagaimana pria itu berusaha semaksimal mungkin untuk merawat Larasati seperti anak kandungnya sendiri. Jika memang benar, memiliki Larasati dalam kehidupannya tidak akan menjadi sesuatu yang buruk.

"Kamu akan mama titipin ke Nenek sampaia acara pertunangan selesai." Gina meraih gawai yang ada di atas meja.

Namun, Larasati tanggap dan langsung melompat untuk merebut gawai itu.

Gina sempat terkejut, tapi refleksnya cukup terlatih setelah dua belas tahun merawat Larasati. Ia berhasil menyelamatkan gawainya sebelum dilempar Larasati ke lantai.

"NGAPAIN KAMU!"

"NGGAK MAUUU KE RUMAH NENEEEK!" Larasati menjerit sekuatnya. Berusaha mereut kembali gawai yang diangkat Gina tinggi-tinggi di atas kepala. Bocah yang tingginya nyaris 140 cm itu tetap tidak bisa mencapai ujung tanya ibunya.

Melihat usahanya tidak berhasil, Larasati mendorong Gina ke belakang. Tenanganya cukup kuat untuk ukuran boicah yag bahkan belum masuk SMP itu. Gina sempat limbung, tapi dia bertindak cepat dengan menaikkan gawainya ke atas lemari yang tak terjangkau Larasati.

Anak perempuan tunggalnya itu kembali menjerit marah dan berlari ke arah lemari. Kali ini Gina yang merangkulkan lengannya ke pinggang Larasati. Menaham tubuhnya yang meronta untuk melompat bahkan memanjat ke arah lemari.

Tangan mungil Larasati menggapai-gapai frustrasi. Dia hanya ingin secepatnya membanting gawai itu agar Gina tidak menghubungi Asih. Dia benci neneknya! Dia benci bagaimana dirinya diperlakukan di sana.

Dia benci papanya! Dia benci semua neneknya! Dia benci semua laki-aki!

Larasati hanya ingin mama!

Larasati hanya ingin berdua dengan mama. Larasati tidak ingin tewas ditusuk, dicekik, ditembak, atau apa pun yang menyebabkannya mengejang dengan darah yang keluar dari dalam tubuh hingga nyawanya pergi.

Gadis itu hanya ingin hidup damai bersama dengan ibunya. Tidak dengan yang lain.

Bahkan ketika tenaga Gina begitu kuat menahan perutnya, Larasati tak menyerah. Dia terus mengeluarkan jeritan melengking, tinggi dan menyayat. Namun, di telinga Gina yang terdengar hanya teriakan mengjengkelkan yang semakin menyalakan api kebencian di hatinya.

Tiba-tiba Larasati merasakan tubuhnya terangkat sebelum merasakan nyeri menghantam punggung dan juga bahu kanannya. Dia terkulai lemah melorot setelah menghantam tembok akibat dilempar oleh Gina sekuat tenaga.

Latrasati kehabisan tenaga. Bahunya terasa berdenyut. Kepalanya yang sempat menghantam tempok juga berdenyut-denyut menyakitkan.

"KENAPA SIH KAMU BEBAL BANGET!"

Jeritan Gina menyentak Larasati hinga dia terdiam. Tubuhnya gemetar. Mama marah lagi padanya. Padahal dia tak bersalah. Dia hanya ingin berdua dengan Gina. Apa itu tidak boleh? Apa mama juga membencinya?

Tidak!

Larasati boleh dibenci siapa pun. Namun, Gina tak boleh membencinya. Larasati tak ingin jauh dari Gina. Jauh dari ibunya.

Jangan Ada Lara (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang