"Gina berterima kasih sekali, Kang." Gina menyuguhkan sirup dan box popcorn yang sengaja dibeli, tapi tidak sempat di makan di bioskop tadi.
Bisma menggeleng dan menenangkan Gina. Pria itu berusaha meyakinkan kalau semua yang dia lakukan tadi sama sekali bukan beban apalagi sesuatu yang membuatnya merasa dibutuhkan.
"Kamu percaya, Gin, sejak dulu aku selalu memimpikan bisa bersama denganmu. Mengasuh siapa pun anak kita kelak. Bergandengan berdua melalui berbagai cobaan hidup. Sayangnya, harapan tak semudah itu menjadi kenyataan."
Gina menunduk mendengar pengakuan itu. Bisma telah begitu baik padanya. Setiap terkenang bagaimana dia menyobek surat ungu itu, rasa malu menampar wajahnya. Akan tetapi, memang itu sikap yang sepatutnya dilakukan seorang pengantin jika ada pria lain yang mendekatinya di hari pernikahan bukan? Siapa yang tahu kalau takdir akan begitu cepat berubah dan terbalik seperti ini.
Dua belas tahun, Bisma semakin dekat dengan Tuhannya, sementara dirinya masih menyumpahi dan mendendam pada mertua juga tetangga-tetangga busuk itu. Dia ingin lepas dari semua dendam. Memaafkan mereka karena toh, kehidupan berbahagianya sudah ada di depannya.
Apa dengan memaafkan, semuanya akan menjadi lebih baik?
Gina menyesap sirupnya dan membiarkan rasa dingin kembali memenuhi rongga dada. Minuman yang selau mampu membuatnya bahagia sejenak di tengah semua yang mengimpit. Mungkin sama seperti air dingin, akan lebih melegakan dibanding air mendidih yang akan menghancurkan kerongkongannya.
"Gina nggak tahu harus bicara apa. Kang Bisma sangat-sangat baik, padahal Gina sudah jahat banget." Kali ini Gina tak bisa menyembunyikan luapan emosi yang terus mendesak keluar. Wanita itu membiarkan tetes demi tetes air mata berjatuhan.
Gina merasa dirinya adalah wanita paling tidak beruntung. Wanita yang begitu abai pada cinta yang tulus.
Melihat Gina meneteskan air mata sesengukan sembari berulang meminta maaf padanya, Bisma salah tingkah. Pria itu kebingungan. Meski berli-kali dia mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan semua perlakuan Gina di masa lalu, tapi dia tak jua bisa menenangkan wanita itu.
Kalau dulu, mungkin Bisma akan langsung menarik wanita rapuh itu dala dekapan. Namun, saat ini, itu tak mungkin dilakukannya. Mereka bukan mahram. Dia tahu bahwa lebih baik ditusuk kepala dengan besi panjang dari neraka daripada menyentuh yang bukan mahramnya. Karena itu, Bisma hanya bisa mengangsurkan beberapa helai tisu keada Gina.
"Gin, aku hanya ingin kamu bahagia. Bisakah kamu lupakan masa lalu dan menatap kepada masa depan kita berdua?"
Gina terdiam sejenak. Menatap mata yang meredup di sisinya itu. "Maaf"
"Tuh, kan." Bisma tersenyum lembut. "Aku nggak butuh permintaan maafmu. Aku cuma mau kamu tersenyum kayak dulu. Kalau kamu lupa bagaimana cara tersnyum. Aku bisa mengajarimu. Aku akan berjuang membuat hidupmu bahagia."
Kali ini, air mata kembali jatuh. Namun, bukan karena duka yang mengerak dan hancur, tapi oleh secercah harapan pada kebahagiaan yang selama ini seolah hanya menjadi khayalan. Gina seolah bisa melihat jalan lurus menuju cahaya di dalam kepalanya. Semua terasa lebih jelas.
Selama ini, hidupnya seperti dalam bayang-bayang gelap yang tidak ada ujung pangkalnya. Semua hanya berpusat pada Larasati. Tidak ada kebahagiaan yang merengkuhnya. Bahkan ketika dia berharap Bisma bisa menjadi siumber kebahagiaannya, semua tampak tak nyata ketika Larasati justru melawannya
Perjuangan Bisma meluruhkan hati Larasati ternyata mampu membuat semua berubah. Gadis kecilnya mulai bisa menerima kehadiran pria itu, Mungkin perlahan, Larasati akan mau menerima Bisma sebagai ayah barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Lara (Tamat)
Misteri / ThrillerBermodalkan kecantikan, kecerdasan dan sikap ramah yang dimiliki membuat Gina Ayu Pradipta dapat dengan mudah memikat hati seorang laki-laki tampan, romantis dan kaya raya seperti Hadi. Sosok Hadi pula yang berhasil mewujudkan impian masa kecil Gin...