Erika mendorong pintu utama rumahnya dengan lunglai, dirinya benar-benar lelah saat ini. Seragam putih itu terlihat berantakan, dasinya melonggar, tas abu-abunya tersampir sebelah di bahu kiri.
Yang terlihat pertama kali saat pintu terbuka adalah hamparan ruangan luas yang kosong. Gadis itu tersenyum sekilas, memang sering seperti ini, penghuni rumahnya jarang berkumpul—setidaknya Erika masih bersyukur karna memiliki keluarga yang harmonis.
Erika berjalan menuju tangga kamarnya, melewati lemari kaca super besar yang terdiri dari tiga sekat—tempat dia dan kedua saudaranya meletakkan koleksi. Al dengan koleksi miniatur bangunan-bangunan dunia, Eric dengan mainan mobil dan motor berbagai jenis, serta Erika dengan figure action berbagai super hero favoritnya dan beberapa tokoh serial Harry Potter.
Erika mengabaikan lemari penuh kenangan itu, terus berjalan sampai di depan pintu kamarnya. Dia terperanjat saat melihat Eric ketika membuka pintu kamar—sedang duduk di pinggir kasur.
"Kak Eric," ucap Erika. Tidak bisa menyembunyikan nada terkejut dalam suaranya. Eric terkekeh mendengarnya.
"Halo little girl, peluk dong." ucap cowok itu sambil merentangkan tangan. Sejenak Erika merasa de ja vu, keduanya memang sering seperti ini—yah, dulu.
"Gamau." Gadis itu bersidekap dada, berdiri di depan kakaknya.
"Gitu banget lo sama kakak sendiri."
"Kirain udah lupa kalo masih punya adik."
Eric tertohok, perlahan menyunggingkan senyum terbaiknya, "Sorry," lirihnya.
"Erika," ucapnya sambil memegang lengan adik yang masih berdiri di depannya."Kalo kamu ada masalah, cerita, dulu udah janji kan bakal cerita semuanya ke Eric?"
Erika tercekat, kalau Eric sampai mengubah gaya bicaranya artinya cowok itu sedang merasakan khawatir.
"Mau peluk Kak Eric boleh?"
"Kan tadi gue minta njing." Rasa-rasanya Erika jadi ingin ikut mengumpat. Lembutnya Eric tuh sebentar, emang dasar cowok nggak bener, tapi kalau saja ada nominasi kakak terbaik versi Erika, tetap saja Eric yang dapat predikat tersebut.
Gadis itu memajukan tubuhnya, mulai memeluk leher kakaknya, bersandar pada bahu Eric. Janji itu sangat krusial bagi Erika. Saat kecil Erika dituntut untuk mempertanggung jawabkan ucapan dan janji-janji yang dia buat, tapi sekali ini bolehkah dia ingkar?
"Gue cuma pengen lo jadi Erika kecil gue. Yang bangga banget waktu gue jemput sambil teriak "Little girl ayo pulang" waktu lagi main sama temen-temen lo, yang selalu peluk gue pas gue menang lomba, bangga-banggain ke temen lo kalo lo punya kakak ganteng."
Egois, Eric akui itu. Dia tidak mau adiknya tumbuh mandiri, melupakan sosok dirinya yang berperan sebagai superhero di hidupnya.
"Setiap orang bertumbuh, yang kecil jadi besar, itu udah alur kehidupan kak. Gue nggak mungkin jadi adik kecil lo terus, hidup gue udah nggak semulus waktu kecil. Karakter gue lambat laun pasti berubah."
"Lo punya 3 pahlawan super. Daddy, Kak Al, dan gue. Lo juga punya malaikat hebat di sosok Mommy. Tetep jadi Erika yang dulu ya?"
Erika diam, terus memeluk Eric. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi suatu saat nanti, dirinya akan tetap jadi little girl kakaknya dan princess dadnya atau akan jadi remaja penuh dendam yang akan meledakkan amarah yang dia pendam selama ini. Terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi, Erika tidak tahu.
~~~
Pagi-pagi pak Suripto sudah olahraga lari mengitari lorong kelas—mengejar siswi berambut hitam merah kesayangannya itu. Kesayangan untuk tidak dihukum. Guru yang berusia empat puluh tahunan itu sudah pasti jarang berolahraga, terlihat dari napasnya yang ngos-ngosan saat ini. Terkadang Erika berpikir, betapa berjasanya dirinya bisa membuat guru tua itu lebih sehat akibat lari mengejar dirinya paling tidak setiap satu minggu sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy VS Bad Girl
Teen FictionErika merasa didewasakan secara paksa oleh keadaan. Hidupnya berubah setelah putus hubungan dengan Marscello. Terbiasa diperlakukan seperti putri oleh orang-orang terdekat membuat sosoknya perlahan berubah saat masalah muncul satu-persatu. Tidak a...