Prolog: Surat Gugat

56 4 4
                                    

Malam kelabu, hujan deras, dingin menusuk bagaikan tersentuh rasa nyeri sampai ke dalam tulang dan meraih ubun-ubun.

Di sebuah bilik dengan pintu yang terbuka, gelap dan hanya disinari lampu dari luar bilik, lemari kecil usang dan reyot. Ratma duduk termenung membelakangi pintu dan memegang gadget seluler disamping bongkahan lemari rusak itu. Dirinya hanya menatap layar ponsel tanpa bergerak sedikitpun dan sayup terdengar suara riuh pertikaian dari luar kamarnya. 

Itu suara mereka. Pernikahan dan anak tunggal tidak menghentikan cekcok sengit yang terjadi cuma karena masalah sepele, makanan. Malam itu, sang lelaki pulang setengah mabuk dan dipenuhi dengan luapan amarah karena tidak ada secuil makanan di meja. 

Tidak seperti biasanya dia pulang dalam keadaan seperti itu. Kebiasaan berbau alkohol ini terjadi bukan juga tanpa sebab. Semenjak tragedi rumah sakit itu, akal sehatnya menolak untuk masuk. 

Sosok yang dianggap Ratma seorang ayah itu kini sedang beramai gaduh bagaikan dua anak kecil yang sedang bertarung untuk hal-hal kecil dengan istrinya sendiri. Bagi Ratma, malam yang tadinya dingin terasa panas bagaikan didekat setumpuk koran yang terbakar.

"PLAK" 

"Wanita Jalang!!"   

Setelah sebuah tamparan dan kata laknat itu keluar, semua senyap..  Hanya terdengar hujan deras diluar..

Ratma terkaget dan menjatuhkan alat yang digenggamnya. Dia menoleh dan melihat ke arah pintu. 

Ratma berlari keluar kamar dan berhembus menerobos halusinasi seseorang yang berdiri tegap di daun pintu untuk mencari ibunya, dia benar-benar khawatir atas apa yang telah terjadi. Ratma segera mencari ibunya. 

Ratma terdiam beberapa saat. Kemudian dia mencoba melihat ke kamar ibunya...

Tetapi, tidak ada..

Ratma segera melihat ke dapur.  

"Yang benar saja!" teriak Ratma dengan sedikit menghela nafas.

Dia lega melihat ibunya terduduk dengan menundukkan wajah di kursi meja makan. Sepertinya ibunya kehabisan tenaga dan tertidur di situ. Ratma bingung, Ratma penasaran, Ratma benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Dengan sedikit nekat, dia mencoba berbicara dengan ibunya, meski hanya sedikit respon.

"Ibu? apa kau masih bangun" tanyanya mencoba membangunkannya walau dia sendiri tahu bahwa ibunya tertidur. 

Namun, tidak ada jawaban sekecap pun.

"Ibu?" Ratma sembari menyentuh dan menggoyang tangan ibunya. Tetap saja tidak ada jawaban sama sekali. 

Benar-benar sunyi..

Ratma terpikir untuk membuatkan teh hangat..

"Menunggu ibu bangun tidak akan ada ujungnya, apalagi ini tengah malam, hawa dingin... ehmmm, teh saja gimana ya?"

****

"ccurrrrrrr"

"ctak"

Dia kembali duduk di samping ibunya yang tertidur dan hanya ada gerak nafasnya. Kembali dia membangunkannya. "Ibu, bangun". 

Kali ini ada respon pergerakan dari sang ibu. Ibu menoleh dengan sayup-sayup ke arah Ratma dengan wajah pucat kontras pipi merah sebelah. Ratma segera memeluknya karena bersyukur ibunya masih hidup.

"Bu Bagaimana?"   "Apa ibu perlu minyak gosok atau mungkin pijat?"

Ratma bercucuran keringat dan wajah paniknya kelihatan, dia benar-benar khawatir dan menanyakan banyak hal kepada ibunya, perasaannya bagaikan bocah yang tumpah minumannya. Namun sang ibu tidak menjawab, dia hanya tersenyum dengan mata berair. Ratma terkejut wajah ibunya seperti itu. Tanpa pikir panjang, Ratma segera memeluk ibunya dan Ratma menangis. Bersamaan dengan hal itu, suara peluit uap dari air matang sudah berbunyi.

Medhon [CLOSED - Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang