Sekarang pukul 2.22 dini hari, Bokuto terbangun ketika dahaga menyelimuti kerongkongannya. Tubuhnya ia dudukan di tepi kasur, tangannya menggapai nakas untuk mengambil ponselnya yang tergeletak disana.
Ia merenggangkan tubuhnya, sangat tidak enak jika bangun saat dini hari. Tubuhnya terasa lemas tidak jelas dan itu membuatnya tidak nyaman.
Sudah menjadi kebiasaannya untuk bangun di jam-jam ini, tentu karena rasa dahaga yang harus segera dituntaskannya itu. Biasanya ia menyimpan satu liter botol minum berisi air putih di kamarnya agar ia tidak perlu repot-repot keluar kamar, namun sekarang kondisinya ia tidak sedang berada di rumahnya sendiri. Rasanya tidak enak juga jika harus meminta satu liter air untuk ia minum, apalagi orang yang rumahnya ia tumpangi ini baru dikenalnya kemarin.
Kini hasrat ingin buang air kecil menyelubunginya, ia melangkahkan kakinya malas keluar dari kamar menuju toilet dan dapur— untuk mengambil segelas air putih. Ia berjalan dengan pelan— enggan membuat suara agar si pemilik rumah tidak terganggu, walaupun ia tidak bisa mendengar langkah kakinya sendiri, tapi ia bisa merasakannya— apakah langkah kakinya ini akan membuat suara yang gaduh atau tidak.
"Bokuto, kamu tidak tidur?"
Bokuto tersentak ketika seseorang menepuk bahunya. Ia masih berjalan pelan di lorong yang mengarahkan dirinya ke toilet, mengapa bisa Akaashi mengetahui keberadaannya?
Ia menghentikan langkahnya, tubuhnya ia balik ke belakang.
Akaashi dengan setelan pajamas, rambut kusut, dan wajah sembab, tengah mengucek matanya sembari menguap,
"Kenapa masih bangun? Takut mimpi buruk?"
"Hentikan Akaashi, pertanyaanmu terdengar seperti seorang ibu yang bertanya kepada anaknya ketika mengetahui anaknya belum tidur pada pukul 9 malam!" Bokuto mengerucutkan bibirnya dan menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
Akaashi tersenyum tipis, "Lalu, ada apa?"
"Aku ingin buang air kecil dan minum."
Senyuman tipis itu kini berubah menjadi kekehan, "Baiklah, aku tunggu disini."
Akaashi berbicara sembari membawa langkahnya ke ruang tamu. Terdapat piano grand disana, ia mendaratkan bokongnya di kursi dan membuka kain panjang yang menutupi bagian tuts piano.
Jari lentiknya menekan tuts piano dengan anggun. Tidak ada buku yang berisi not balok di depannya, tidak ada lagu yang ia pikirkan untuk ia mainkan di piano sekarang.
Tetapi, jemari itu menekan tuts demi tuts dengan sangat lihai. Seolah ia sudah sangat menguasai lagu itu. Tapi faktanya, itu adalah permainan improvisasi; memainkan piano dengan spontanitas. Permainan piano yang murni mengikuti kata hati.
Bokuto mengurungkan niatnya untuk pergi ke toilet, ia lebih memilih menyaksikan permainan piano oleh Akaashi.
Walaupun ia tidak bisa mendengar lagu apa yang sedang Akaashi mainkan, tapi setidaknya melihat jemari itu bergerak dengan sangat lincah tapi tetap anggun dapat membuat dirinya tahu kalau Akaashi tengah memainkan melodi lagu yang indah dengan perasaan dari lubuk hatinya.
Ketika lantunan melodi piano tersebut sudah selesai, Akaashi menoleh ke belakang. Ia mendapati Bokuto tengah menyender ke tembok sembari memperhatikannya dengan senyum tipis di bibirnya.
Sedikit salah tingkah, ia tidak biasa diperhatikan seperti ini. Dehaman kecil ia keluarkan, senyuman canggung ia lontarkan ke arah Bokuto.
Ia menggeser duduknya, kini posisinya berada di tepi kiri kursi. Ia menepuk bagian kosong di sebelahnya, memberikan kode kepada Bokuto untuk duduk di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Notes [BokuAka]
FanfictionTidak ada hubungan serius, hanya terikat dalam komitmen dengan status yang tidak jelas. Mereka mendeklarasikan hubungan tersebut dalam buku catatan khusus. Lembar demi lembar mereka isi dengan coretan rasa, dan mereka berjanji akan mengisi buku cata...