Sayap-Sayap Patah

16 0 0
                                    

Aku pernah Bermimpi,
Bermimp menjadi Pemilik Hatimu seutuhnya,
Hingga Lamunan Indah membuai Hati yang Di selimuti oleh rasa pilu,
Kehilanganmu Waktu itu menyedarkan seluruh Titik Kehidupanku,
Ternyata aku hanyalah Wanita lemah yang Terlalu Pemimpi akan Suatu hal yang tak pasti,
Salahkah? Aku fikir Tidak!
Tuhan tak pernah melarangku untuk menggantungkan secercah harapku untuk sampai pada Hatimu,
Namun Ternyata aku salah,
Melalui kamu,
Tuhan Tunjukkan bahwa terkadang Harapan Akan Berubah perlahan menjadi Luka,
Oh,
Siapakah yang akan Ku salahkan dalam situasi Ini,
Kau yang tak perasa akan Cintaku,
Ataukah aku yang Terlalu Pemimpi untuk memiliki mahluk seindah kamu.
Entahlah,
Kekosongan Kini perlahan mengugurkan Separuh dari Rasaku Padamu,
Ku coba Menyingkir dalam Ruang Dan waktu yang membahas tentang Dirimu.
Namun apa yang Ku dapat!
Ini semacam tak adil,
Ku Coba untuk melepasmu,Namun Hatiku seolah Tertikam setiap Kali aku berusaha untuk Menjauh dari Hidupmu!

Dibalik tabir jati ruangan ndalem, ada telinga yang berusaha mendengarkan pembicaraan Abah Yai dan Ibu Nyai, setiap huruf dari kalimat yang keluar dari pemuda itu tidak akan ia lepaskan, ia menangkapnya dengan baik. Berbeda dengan abah yai dan ibu nyai yang bangga dan bahagia, ia justru hancur dan tak mampu ia sembunyikan air mata nya. Ia telah lama jatuh cinta pada pemuda itu, bahkan sejak pemuda itu mengawali cara menggunakan sarung, memang benar tak ada siapapun yang mampu memberi rasa cinta kepada mahluk lain, karna jatuh cinta itu tak bisa direncanakan. Kokohnya tembok kasta yang berdiri tidak mampu ia goyahkan dengan rasa cinta yang telah mengakar pada sanubarinya. Ia tak meninggalkan sekelebat langkah Jauhar meningalkan ruangan ndalem, bahkan ia masih mengamati bayangan Jauhar hingga menghilang.
Gus Faruq ? siapa dia ? Ada apa hubungannya denganku ? 3 bulan lagi? Ya Allah tak kuasa ku tahan air mata ini. Setelah tak ku dengar deru motor yang dikendarai Jauhar aku pun pergi ke kamar, menghamburkan tubuhku dan membenamkan wajahku kedalam bantal. Aku seperti orang hilang akal, seperti kisah Layla Majnun aku telah gila dengan cinta. Aku pun tak sadar bahwa waktu telah berganti, sang mentari turut mengenali rasaku, semburat cerianya enggan lagi ia tampkkan, berganti menjadi gelapnya malam dengan jubah keagungan yang kurasa begitu mencekam.
Tok.. tok... tok..., suara ketukan pintu Umi' aku sudah sangat faham aku pun bangun dan bersiap melakukan sholat magrib karna memang watku sudan hampir menunjukkan jam isya'. Setelah selesai sholat aku bukakan pintu untuk Umi'. Umi' mengajakku makan bersama di ruang makan namun aku menolaknya dengan halus dengan alasan habis jajan dengan mbak pondok. Tak ku sadari Umi' ternyata memperhatikan kondisiku yang pucat dan lemah. Dengan santun Umi merayuku untuk ikut makan diruang bawah dengan alasan Abah sudah menungguku lama. Aku pun tak bisa menolaknya. Akhirnya aku ikut Umi' untuk turun keruang makan untuk makan bersama. Ternyata Abah sudah menungguku bersama seorang pemuda yang yang tak ku kenali. Aku memilih duduk jauh dari pemuda itu, bisa jadi dia adalah Gus Faruq yang akan dijodohkan dengan ku sesuai apa yang ku dengar tadi siang.
"Monggo Gus kalian dikersaake" ucap abah memulai pembicaraan
"Njih yai terimakasih banyak, kok repot ini jadinya" jawab pemida itu dengan sungkan
"Ini Hilya putriku gus, dia besar dalam asuhan kami jadi pantas kalau manja keliatannya, hanya dulu 6 tahun dia di Ar Risalah, setelah itu saya memang sengaja suruh dia dirumah biar kalau saya dan istri sedang pergi ada yang jaga santri" tukas Abah
"Njih Yai, mungkin Ning Hilya lebih banyak pengalaman sosialnya daripada adik saya Faruq, sekalipun dia selama di Sudan menjadi aktifis tapi saya tidak yakin dia punya kecakapan sosial seperti yang saya lihat pada Ning Hilya" jawab pemuda itu. Deg aku mendengar jawaban yang berbeda dengan apa yang aku bayangkan dia bukan Gus Faruq ternyata, aku sedikit lega namun tidak bisa lebih lega daripada sebelumnya.
"Hilya ini Gus Tajul dia kakaknya Gus Faruq putra Yai Humam yang akan Abah jodohkan dengan mu, kebetulan tadi sore Abah jumpa dengan Gus Tajul di sebelah toko pesantren jadi Abah ampirin sekalian kesini biar lebih kenal juga sama keluarga kita" tukas abah mengenalkan pemuda itu.
Aku hanya tersenyum sayu mendengar tuturan Abah, aku ingin segera beranjak dan pergi dari ruang makan ini, tapi tatapan umi mencegah ku dan meyakinkanku untuk tetap duduk disampingnya.
Batinku bergolak.. aku masih memiliki rasa pada Jauhar, namun sejatinya bukan hanya masih tapi memang seluruh perasaanku kuberikan untuk Jauhar. Aku terlalu kagum dengan sosoknya yang sederhana, santun, dan berwibawa. Mungkin tak seperti gawagis yang beberapa kali Abah kenalkan denganku. Aku percaya mereka punya wibawa karna nasab yang mereka bawa. Aku tak tau persis Jauhar yang aku kenal dia selalu menjuarai Musabaqoh Qiroatil Qutub baik tingkat Ma'had maupun tingkat Nasional, dan masalah keilmuan fiqhnya dia menurutku terdepan karna sering mengikuti kegiatan Bahtsul Masail yang diadakan oleh pesantren-pesantren lain dalam ranah Nasional. Namun kepergiaanya menyisakan ruang terdalam bagiku. Bagiku Abah Umi adalah segalanya sedangkan Jauhar.. ah aku tak mampu menjelaskan tentang rasa ini. Jika aku menerima Gus Faruq aku belum siap dan sepertinya aku belum mampu memulihkan dan menata kepingan-kepingan hati yang berserakan. Namun jika aku menolaknya, apa kata Abah, Yai Humam adalah karib Abah sejak Abah kecil hingga hidup bersama di pesantren Jampes. Allah.. jika Jauhar bukan jodohku mengapa kau bangun megah perasaan cinta ini padanya..
Aku hanya tak ingin menjadi Shinta yang cintanya untuk Rahwana namun ia palah menikah dengan Rama namun aku ingin menjadi Sayidah Khodiyah yang meletakkan hati dan cintanya dengan benar hingga sayap-sayap yang dulunya patah mampu kembali tumbuh dan berseri hingga ia bertemu sang Robbul Izzati ...

HilyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang