Gencatan Senjata

4 1 4
                                    

Masih minggu kan?

Masih minggu kan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.










-----




"Jawab" desak Yahya saat Qori tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Anu.. itu gue.. anu.."

"Astaghfirullah Qori. Ngapa lo malah cosplay jadi aziz gagap sih" Yahya hampir menyerah menanyai Qoriah sejak tadi namun tidak juga di jawab.

"Aduh bukan gitu. Sebenernya gue tadi... beli nasi padang" jawab Qoriah.
Melihat Qori yang tidak nyaman, Yahya tahu Qoriah berbohong.

"Qoriah, lo tahu kan kalo bohong tuh dosa, yang dibolehin bohong itu cuma tiga."

"Iya tahu."

"Kelompok pertama yang berbai'at kepada Rasulullah ﷺ- bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:

"Orang yang mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, orang yang berkata demi kebaikan, dan orang yang membangkitkan (mengingatkan) kebaikan bukanlah termasuk pendusta."
lbnu Syihab berkata:
'Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal, yaitu: dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami (untuk meraih kebahagiaan atau menghindari keburukan).HR. Muslim No. 4717."

"Nah tuh pinter. Lo tadi ada urusan apa? kemana?" Tanya Yahya sekali lagi. Dengan tubuh yang cukup tinggi Yahya terlihat seperti ayah yang memarahi anaknya yang ketahuan berpacaran.

"Masuk dulu deh." Putus Qori.










"Jadi tadi gue tuh ke caffe. Mau ngambil surat keputusan diterima atau enggak." Kini mereka sudah duduk berhadapan, namun cukup jauh.

"Keputusan apaan? yang jelas napa sih kalo ngomong tuh."

"Jadi waktu kita ngambil motor lo pas bocor itu, gue lihat lowongan kerja di caffe. Ya udah deh gue coba lamar. Dan tadi pengumumannya, ternyat nggak keterima."

"Jadi maksudnya lo mau kerja paruh waktu terus nggak ada yang tahu gitu?" Tanya Yahya memastikan.

"Bukan gitu. Ya kalo gue ngomong sama lo pasti nggak lo bolehin, terus lo ngomong sama bapak sama ibu" jelas Qoriah yang kini menunduk tak berani menatap Yahya sedang menatap tajam ke arahnya.

"Udah pasti nggak gue bolehin" Tegas Yahya.

"Tuh kan. Makanya gue nggak ngomong sama siapa-siapa" teriaknya, namun detik berikutnya ia kembali tertunduk karena melihat wajah Yahya yang menatap tajam dirinya.

"Maaf" cicit Qoriah.

Yahya tidak habis fikir dengan temannya ini, bagaimana jika terjadi sesuatu di tempat kerja atau sebagainya, dan tidak ada yang tahu.

"Lo tuh.. hih.. astaghfirullahalladzim"

"Kok lo malah tiduran sih?" Kalimat tanya itu mencuat saat Yahya sekarang ini malah tidur telentang dengan lengan yang digunakan untuk menutupi wajahnya.

"Gue tuh lagi menjalankan sunnah rosul" kata Yahya yang masih tidak bergerak dari tempatnya.

"Mau sekalian gue ambilin air nggak? Kalo aja marah lo belum reda"

"Boleh. Apalagi kalo aernya rasa jeruk"

"Lah kan nggak afdol kalo wudhu pake jus di"jawab Qori mengingatkan.

"Kalo aernya rasa jeruk nggak buat wudhu kali. Buat minum gue" balas Yahya, yang kini sudah kembali duduk menghadap Qoriah.

"Gini ya Qoriah Uswatun Khasanah, buat apa sih lo tuh kerja part time, orangtua lo juga ngirim uang nggak pernah telat kayaknya. Lo tuh cuma disuruh belajar yang rajin terus nilainya bagus doang."

"Iya sih, tapi kan gue pengen ngrasain kerja."

Sepertinya pembelaan yang dilakukan Qoriah tidak membuat Yahya luluh. Dengan terpaksa Qoriah mengeluarkan jurus menyuapnya.

"Gini deh. Gue kasih separuh mie instannya tapi jangan bilang bapak sama ibu, deal?" Tawarnya.

Mendengar ajakan bernegosiasi oleh temannya itu lantas membuat alis Yahya menukik turun. Ia heran teman macam apa Qoriah itu, bukannya melakukan pembelaan agar dizinkan. Ini malah berniat menyogoknya.

"Lo nyogok gue?" Perjelas Yahya. Sembari menunjuk dirinya sendiri.

"Enggak. Ini tuh namanya perundingan"

"Alah, sama aja. Kalau pun lo nyogok gue pake mie instan sekerdus pun gue bakalan terima. Lumayan, tanggal tua bikin dompet kembang kempis. Setuju gue."

Mendengar jawaban Yahya yang plin plan itu membuat Qori menepuk jidatnya sendiri.

"Ok. Separuh mie instannya buat lo, tapi lo nggak boleh ngomong sama siapa pun kalo gue kerja paruh waktu. Deal?"

"Deal." Mereka berjabat tangan.

"Dasar lo giliran disogok makanan aja lo"

"Oh, nggak ikhlas nih? Ayudah nggak usah jadi nyogoknya terus gue bisa bilang ke bapak sama ibu lo kalo.." belum juga menyelesaikan ucapannya, Yahya sudah diinterupsi oleh Qori melalui telunjuknya yang ditempelkan dibibirnya.

"Hih bukan muhrim. Ya ampun mulut gue ternodai. Apa salah baim Ya Allah" keluh Yahya saat sesudah menghalau jari telunjuk qoriah yang mendarat di bibirnya.

"Siapa suruh lo mau ngalanggar perjanjian." Jawab Qoriah sembari mengusap jarinya yang ia gunakan untuk menghentikan omongan Yahya.

"Becanda elah. Mana mie instan gue?"

"Bentar, gue ambilin kantong dulu." Kata Qoriah sebari berlalu mengambil tas kain didalam tas ranselnya. Lalu memasukkan separuh mie dari kerdus.

"Nah, gini kan aman. Tapi kalo lo kerja lo harus ngomong dulu ke gue. Jangan sembarangan terima kerjaan."

"Iya. Udah sana lo balik." Usir Qori, membuat Yahya bangkit dan menninggalkan kamar kosnya setelah mengucapkan terima kasih.

Setelah kepergian Yahya, ponsel berdering. Membuatnya melihat siapa yang menelpon, namun melihat ponselnya tidak membuat Qoriah tahu sang penelfon.

Nomor tidak dikenal tertera di layar ponselnya. Hal itu membuatnya bingung untuk mengangkatnya atau tidak, hingga deringan ponselnya berhenti. Tak lama berselang ponselnya kembali berbunyi. Nomornya masih sama dengan yang menefonnya pertama tadi.








-----









Assalamu'alaikum👋
Kalo ada yang salah tentang hadisnya atau penulisan (apapun ) tolong ingetin ya, tandain. Biar bisa aku revisi

JANGAN LUPA VOTE +COMMENT YA BIAR SEMANGAT NULISNYA

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Qoriah Uswatun KhasanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang