[sebuah dongeng palsu]Hampir malam, dikala matahari ingin segera pulang dan mengadu betapa bencinya ia pada manusia, aku pulang. Sejemang setelah selesaikan beberapa tugas kelompok memuakan yang membumbung tinggi bak Everest.
Tadi, kulihat sekali, Abian pulang terburu-buru dengan seorang Kakak kelas perempuan berbando kuning. Jelek. Aku masih jauh lebih cantik. Selalu ingin bertanya, apa Abian masih ingat sekedar namaku? Atau mungkin pada kenyataannya aku hanya sebuah helai angin yang melewati hidupnya?
☘️
Suhu kamar terasa pengap, aku bukanlah seseorang yang mampu menahan penasaran sebegini lama. Namun jikalau aku ingin tanyakan perihal diriku dan Abian, akan sebesar apa rasa maluku nanti?
Lagipula aku ini kenapa sebenarnya? Bak mengayuh diri di dunia fiksi hingga lupa dimana sebenarnya aku berpijak diri. Ini bukan novel romansa anak SMA yang dengan mudah jatuh pada sebuah kisah bak drama Negara sebelah.
Ini berbeda, aku dan Abian hanya sebuah kesengajaan yang terbawa perasaan. Karna jika dipikir, memang apa yang mengharuskan Abian mengingatku? Tidak ada, kami ini omong kosong.
Aku bukanlah Jasmine yang mudah diingat oleh Aladdine. Aku nyata, mereka palsu. Tak bisa aku membandingkan kisah rumitku dengan dongeng indah milik mereka.
Hingga mungkin aku jatuh tertidur cepat sekali karna lelah memikul beban-beban tak berguna di punggung. Merasa hanyut dalam hamparan mimpi yang sudah kulupa sesaat setelah bangun di keesokan harinya.
☘️
"Aku punya nomor ponsel Kak Abian nih, kamu mau nggak?" Kirei menyodorkan ponsel pintar kehadapanku dengan wajah yang bangga.
"enggak, buat apa?" Tanyaku walau hatiku nyatanya meraung, aku ingin deret nomor itu, aku ingin.
"Ayo cepet nggak papa, eksklusif loh ini." Tawarnya lagi dengan jiwa ala-ala tukang baju di pasar yang memaksa siapapun untuk membeli.
"Oke, sini mana cepet."
Akhirnya mengalah.
Cinta itu egois. Dan aku ingin menajdi begitu, aku ingin menjadi egois pada diriku sendiri. Masa bodoh perihal akhir, toh aku juga belum sama sekali memulai. Tak pernah ada yang tahu robekan akhir kisah ini, kan?
☘️
Malam pengap, sunyi, dan aku linglung. Sejak tadi mematai ponsel untuk berpikir apa aku perlu menghubunngi Abian untuk sekedar basa basi atau malah tetap bersembunyi dibalik tudung perasaan ini?
Tuhan, kenapa jatuh cinta bisa semembingungkan ini. Berarti semua dongeng itu pembohomg? Kenapa kisah cinta mereka mulus nan lurus bak jalan tol. Bukankah tak adil?
Iya, aku hampir saja lupa jika itu adalah fiksi sedangkan perasaan ini asli. Baik, tak akan lagi kusalahkan dongeng-dongeng sialan itu.
Chiasa Yurakim:
Permisi Kak, ini Chiasa, save ya.:Abian Aqil Nagara
Oke Chiasa, saya inget kamu kok. Yang waktu itu naik panggung dapet hadiah, ya?Abian mengingatku. Itu inti hidupku hari ini, Abian mengingatku. Dia mengingat kehadiranku. Sumpah, jantungku semakin tak tahu diri mendobrak rusuk. Hingga hampir jatuh ke mata kaki. Agaknya aku hendak berjanji untuk tak lagi caci maki perihal dongeng-dongen Puteri kerajaan dan para pangeran kesayangan mereka.
Chiasa Yurakim:
Ah, Kakak inget aku:Abian Aqil Nagara
Inget, kan saya yang pilih kamu buat jadi pemenangSumpah. Aku tahu berlebihan. Namun sungguh, aku tak pernah tahu jika jatuh cinta bisa semenyenangkan ini. Apa boleh sekali saja aku berharap pada manusia? Walau aku sendiri tahu bahwa pada nyatanya tak ada hal yang baik dari berharap pada manusia, namun, aku ingin dan aku telah melakukannya sekarang.
☘️
[aurorakanza]
KAMU SEDANG MEMBACA
im afraid i will fall for you forever;
Teen Fiction[selesai] Aku hapal betul tas punggung hijau usang dengan garis cokelat apatis. Punggunnya selalu aku perhatikan dari diamter sejauh apapun, terlampau payah untuk sekedar dekati sedikitpun. Lalu katanya itu disebut jatuh cinta, namun bertepuk angin...