[serupa oksimoron]Sejak malam penuh debar itu, entah kenapa setiap harinya harapanku semakin tinggi, tinggi, dan terus meninggi tak berujung, hingga lupa daratan. Setelah aku telisik nyatanya Abian adalah pangkal masalah dari semua ini. Senyumannya yang memulai semua ini terjadi, hingga kita berdiri di titik ini. Bimbang nan bingung.
"Saya kan mau jadi tentara nanti, jadi harus cari istri yang setia." Kekehan renyah terdengar bak alunan surgawi jika keluar dari seorang Abian.
Aku tertawa mengejek, "udah ke istri aja pikirannya, belajar dulu yang bener."
"Udah bener, kamu tuh yang masih sering males." Ia pun menyentuh keningku dengan telunjuknya.
"Enggak kok!" Aku masih mencoba membela diri, awas saja jika pipiku memerah, kutampar diriku sendiri.
Abian mengangguk lalu tersenyum, "iyadeh, percaya," ujarnya kemudian sebelum menegak habis seluruh isi minuman bersoda itu.
"Kak, kenapa istrinya harus yang setia?" Tanyaku berniat panjangkan tali percakapan.
"Kan saya mau jadi tentara, otomatis saya bakal sangat jarang peluk dia. Saya mau yang setia supaya dia nggak gampang kegoda sama yang selalu ada." Jawab Abian lugas. Dia selalu terlihat dewasa dan bijak.
Aku menatap lekat parasnya, indah, indah sekali hingga aku pernah berpikir akan bisakah aku menyayangi orang lain selain Abian? Dan jawabannya adalah tidak tahu. Aku paham bahwa kita berdua masih serupa abu-abu, masih biru dan kaku. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupku yang penuh drama, aku ingin berharap.
Aku ingin tahu, sehebat apa semesta mampu mempermainkan ku.
"Saya mau pulang sekarang, ayo, kamu saya anter."
Aku mengangguk sebelum buru-buru menyeruput tetesan-tetesan terakhir minuman ber-kafein di atas meja. Kedai Kopi Satu Rasa memang tak pernah gagal untuk menyajikan kopi dengan perasaan 'sendu' yang ikut hanyut terbawa.
☘️
Kita berdua ini serupa oksimoron dengan Abian sebagai ramah dan aku sebagai marah. Kepingan berbeda antar dua sudut dunia. Kita pun serupa Yin dan Yang dengan Abian sebagai putih dan aku sebagai hitamnya. Terbaur dalam satu desak dunia yang tak ada habisnya.
Kita pula adalah bumantara dan semesta. Saling berjauh di atas dan bawah. Namun katanya bersatu karna kita berdua adalah kubu positif dan negatif. Namun tidak kata mereka, aku adalah sebuah badai dalam damai.
Aku paham sekali, aku lebih hobi mengumpat dan Abian lebih senang menghapal nama-nama Tuhan. Aku paham sekali, dikala Abian gemar mencari rumus matematika, aku lebih senang melemparnya hingga tak lagi tertangkap mata. Kita ini sejemang ketakutan dalam kotak pandora. Kerumitan dalam paradoks tua.
Kami berbeda. Aku paham sekali kenapa orang-orang begitu sangsi melihatku berdekatan dengan primadona sekolah.
Abian itu Ketua OSIS paling sukses selama ini, aku melihat kinerjanya tak patut lagi diragukan. Dan disinilah aku, seorang gadis yang selalu biasa-biasa saja mencoba untuk duduk di singgasana hatinya. Tahu kok, terlampau tak tahu malu.
"Kak Abian!" Aku menghampirinya lalu menyerahkan sebuah gantungan kunci serupa botol kecil nan mais dengan kelipan pasir di dalamnya. "Untuk Kakak."
Obsidian cokelat madu itu berpendar senang, sebuah titik manis yang selalu aku cintai. "Wah! Bagus banget, makasih, ya,"
Setidaknya, ada sebuah barang yang tertinggal untuk mengingatkannya bahwa kita pernah sedekat itu. Sebelum mungkin semuanya akan berakhir.
☘️
[aurorakanza]
KAMU SEDANG MEMBACA
im afraid i will fall for you forever;
Jugendliteratur[selesai] Aku hapal betul tas punggung hijau usang dengan garis cokelat apatis. Punggunnya selalu aku perhatikan dari diamter sejauh apapun, terlampau payah untuk sekedar dekati sedikitpun. Lalu katanya itu disebut jatuh cinta, namun bertepuk angin...