Danhee tidak akan pulang selarut ini kalau saja Hara tadi tidak mengajaknya dan Bora ikut makan malam bersama dengannya dan Jimin di restoran mahal yang tidak pernah ia bayangkan dirinya akan makan malam di tempat seperti itu.
Entah itu keberuntungan atau sebaliknya, tapi yang Danhee tau setelah kepergian Hara yang tiba-tiba pamit di tengah mereka yang sedang menikmati hidangan makan malam merupakan hal yang paling tak di inginkan Danhee. Alasannya karena ia harus terjebak berdua bersama gurunya setelah mengantarkan Bora yang memang rumahnya lebih dekat.
Ironisnya lagi Jimin menyuruhnya untuk pindah ke depan setelah Bora turun dengan maksud tidak mau terlihat seperti supirnya, padahal ia tidak pernah menganggap gurunya sendiri sebagai supir. Tau begini, lebih baik ia pulang dengan bus saja.
Dalam perjalanan tidak ada yang berniat memulai percakapan sehingga atmosfer di dalam mobil terasa canggung bagi Danhee. Sedang Jimin sama sekali tidak merasa canggung, malah sebaliknya terlihat dari bagaimana ia sering mencuri pandang pada muridnya yang duduk anteng di sebelahnya.
Bukannya enggan mengajak muridnya itu mengobrol---Jimin sangat ingin malah, hanya saja melihat Danhee bersamanya saat ini ada sesuatu yang mengganjal di benaknya sehingga ia terus memikirkannya sampai tak memiliki kesempatan mengobrol dengan muridnya itu, hingga sampai lah mereka di rumah Danhee barulah ia tersadar bahwa pikirannya berkelana terlalu jauh.
Jimin teringat pertama dan kedua kali ia mengantar Danhee pulang, Ibu Danhee selalu menunggu kepulangannya putrinya di depan. Namun, kali ini Jimin tidak melihat Ibu Danhee yang berdiri di sana dan rumah Danhee yang gelap karena tak ada satupun lampu yang menyala.
Seperti tidak ada penghuni di dalam sana.
"Terima kasih atas tumpangannya, Saem."
Suara Danhee mengalihkan pandangan Jimin yang sekarang melihatnya membungkukkan punggung sebagai tanda terimakasih.
Selesai melepas seat belt Danhee hendak segera turun, tetapi tangannya lebih dulu di cekal oleh Jimin yang membuatnya menoleh menatap gurunya tersebut dengan alis yang naik. "Ada apa Ssaem?" tanyanya.
"Boleh aku mampir ke rumahmu?" entah kenapa Jimin merasa cemas dan ingin memastikan sesuatu. Mungkin karena dia sekarang adalah guru dan Danhee adalah muridnya, jadi ia seperti merasa memiliki tanggung jawab.
Agak tidak yakin dengan pilihannya, tapi Danhee memang tidak bisa memilih selain membolehkan gurunya itu untuk mampir ke rumahnya. Sebagai murid yang baik ia memang harus melakukannya.
Setelah masuk ke dalam rumah Jimin tidak melihat tanda-tanda keberadaan Ibu Danhee, suasana di dalam rumah sepertinya memang kosong sebelum mereka masuk.
"Ssaem duduklah di sini, aku akan ke dapur sebentar membuat..." Danhee menggantung kalimatnya tidak tau mau membuatkan gurunya minuman apa.
Seolah mengerti Jimin menyahut, "Kopi saja jangan terlalu banyak menaruh gula kalau bisa." ujarnya setelah mendudukan diri di sofa seperti permintaan si pemilik rumah.
"Ne!" Danhee segera memutar diri dan melangkah lebar menuju dapur dan kembali dengan membawa secangkir kopi dan susu cokelat untuk dirinya sendiri. "Ini Ssaem kopinya," menyodorkan kopi buatannya pada Jimin yang langsung menerimanya.
"Gumawo," Jimin kemudian segera menyeruput kopinya untuk merasakannya, mencecap lidah untuk meresapi kopi yang baru saja membasahi rongga mulutnya. "Rasanya pas, sesuai seleraku." sanjungnya terus terang.
Mendengar pujian yang tidak begitu di harapkan sebelumnya cukup membuat Danhee salah tingkah setelah mendengarnya. "Syukurlah kalau begitu." ucapnya hampir seperti bergumam, tapi Jimin masih dapat mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Secret of The Past (Hiatus)
FanfictionBerpusat dari tragedi masalalu yang belum terselesaikan membuat Park Jimin berambisi untuk mengungkap pelaku yang menewaskan Ayahnya dalam kecelakaan dan Ibunya yang harus terabring di rumah sakit bertahun-tahun lamanya. Sampai suatu hari Jimin ber...