1.Mulut Pedas

251 88 148
                                    

Lemah jantung.

Penyakit yang sudah lama menggerogoti tubuhnya itu membuatnya ingin mati saja. Rasanya percuma melakukan pengobatan-pengobatan tidak jelas yang di jalaninya selama ini, pada akhirnya ia akan tetap mati bukan? Itulah yang kini ada di pikiran Anzella Nathania Felice. Penyakit yang ia derita selama bertahun-tahun lamanya itu sungguh menyiksa dirinya. Bau obat-obatan rumah sakit saja sudah menjadi hal biasa bagi indera penciumannya.

Bulir keringat terus menetes di pelipis Azell, padahal matahari tidak menampakkan teriknya. Hanya ada awan hitam menghiasi langit dan angin yang terus berhembus menerpa kulitnya.

Jemarinya terus meremas kuat rumput di bawah sambil terus menekan dadanya yang berdenyut semakin nyeri. Nafas Azell tersengal-sengal akibat pernafasannya yang mulai terhimpit. Badannya pun mulai melemah, pandangannya mulai kabur dan akhirnya semuanya gelap. Tubuh Azell ambruk ke rumput-rumput hijau itu.

Azell tau, sangat tau. Bahwa dia akan kembali ke tempat yang di laknatnya itu. Tidak salah lagi, tempat itu adalah Rumah Sakit. Mata Azell sudah terbuka perlahan, dia menatap sekeliling dangan tatapan kosong. Rasanya sangat Hampa, namun memang seperti inilah takdirnya bekerja.

"Gak ada puasnya lo nyusahin gue," suara berat seorang pria membuyarkan lamunanya, dia berdiri tepat di depan brangkar Azell. Pria itu menatap tajam Azell yang kini masih terbaring lemah.

"Lo udah sangat tau, kalo jantung lo itu gak normal kayak manusia lain diluar sana. Kenapa masih ngeyel lari-lari di taman tadi?!" sinis pria itu.

Perkataan pria itu sungguh menyakiti hatinya. Sudah biasa, sebenarnya ini bukanlah hal yang perlu dia pikirkan. Perkataan pedas itu juga bukanlah alasan untuk dia berhenti mencintai pria di hadapannya ini,sudah resiko dirinya sendiri mencintai Melviano Arian Surendra. Pria berparas tampan dengan kulit sawo matang yang dia kenal sudah sejak 3 tahun lamanya.

"Maaf," ucap Azell dengan perasaan bersalah, kepalanya menunduk menatap selang infus yang kini menancap di tangannya.

"Bosen gue dengernya," balas Melvin.

Setelah mengucapkan itu, Melvin keluar dari ruangan itu meninggalkan Azell yang masih termenung dengan segala pikirannya. Benar, memang benar. Dia hanya sebuah beban disini, hidupnya hanya menyusahkan orang lain.Tapi harus bagaimana lagi? Ini bukan keinginannya. Dia juga berharap bisa seperti manusia normal diluar sana yang bisa menikmati hidupnya tanpa ada larangan.

"Azell jangan lari-lari yah,"

"Azell gak boleh makan-makanan yang terlalu banyak mengandung garam,"

"Azel gak boleh kecapekan,"

"Azell dirumah aja, jangan kemana-mana nanti capek,"

"Azell gak boleh ini dan itu,"

Masih banyak lagi larangan yang membuatnya muak. Kadang tanpa melakukan apapun jantungnya masih saja tiba-tiba nyeri, membuatnya merasa lelah dengan keadaan. Tapi lebih lelah lagi bertahan mencintai Melvin. Melvin adalah si mulut pedas yang tak sengaja di pertemukan dengan dirinya. Di tempat laknat ini menjadi saksi pertemuan pertama mereka. Takdir memang selalu seperti itu, bisa indah dan juga bisa buruk. Meskipun begitu Azell bersyukur bisa bertemu dengan Melvin. Melvin itu datar seakan tidak tersentuh, tapi dia masih tetap menjadi tempat ternyaman untuknya. Tidak tahu apa alasannya, tapi itulah yang Azell rasakan.

"Jangan capek-capek kalo di sekolah banyakin di kelas aja. Kalo---,"

"Iya-iya Azell tau, ayah tenang aja," sela Azell memotong ucapan Sang Ayah seraya menatapnya jengah. Melihat itu hanya membuat Ayah Azell tersenyum kearah anaknya lalu mengusap kepala Azell sayang.

DETAK [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang