Prolog

19.8K 2.3K 51
                                    

Bukan hal yang sulit bagiku untuk memfokuskan diri pada pekerjaan. Aku sudah terbiasa diganggu ketika tengah fokus dengan layar komputer di ruang kerjaku. Hanya saja, belakangan ini rasanya sangat sulit untuk menjaga konsentrasi agar tidak buyar.

"Mbak Nattaya, dicariin Pak Naufal. Katanya beliau belum terima jadwal untuk Praktikum Pengantar Teknologi Biomedik."

Mengenali suara itu, aku lantas menoleh. Di ambang pintu ruanganku yang terbuka, seorang perempuan berdiri tegak. Berkali melihat pun, aku masih saja membayangkan gadis itu terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, bukannya Fakultas Teknik. Apalagi sebagai mahasiswi Teknik Elektro yang biasanya didominasi oleh kaum lelaki.

"Mbak ditungguin di ruangannya Pak Naufal." Elok merapikan poni anti badainya dengan ujung jari-jari lentiknya. Hal sederhana tersebut selalu berhasil membuat setan kecil dalam hatiku mencak-mencak, gatal ingin mengacak helai rambut yang menutup kening gadis berambut panjang itu.

Sebelum keinginanku jadi kenyataan, aku lekas mengangguk. Kusimpan pekerjaan di komputerku, lantas mematikannya demi keamanan. Walaupun belum pernah—dan jangan sampai—kejadian, aku tidak mau meletakkan hasil kerjaku dalam bahaya. Siapa tahu ada makhluk iseng yang tega menghapus semua dataku. Dari dalam laci meja, kuraih sebuah flash drive. Setelahnya, aku melangkah keluar ruangan diekori oleh Elok.

Sementara tungkaiku melangkah menuju anak tangga ke lantai dua, Elok menuju arah lain—entah ke mana, aku tidak begitu peduli. Langkahku rasanya berat sekali. Seolah ada tambahan sekian ton yang diikatkan pada kedua kakiku. Beban itu terasa semakin nyata seiring dengan menipisnya jarakku dengan tujuan.

Tempat tujuanku hanya terpaut beberapa meter dari pintu ruang tata usaha. Letaknya persis di sebelah pintu yang bertuliskan 'Kepala Departemen'. Tertera nama 'Naufal Firza, M.Eng.' pada daun pintunya.

Demi apa pun, kalau bisa memilih, aku tidak mau berurusan dengan pemilik ruangan ini. Apalagi setelah sikap menyebalkannya satu tahun belakangan. Rasanya ingin kuacak-acak wajahnya itu, supaya tidak lagi mengukir senyum.

Pintu di depanku mendadak terbuka. Aku mendongak, menahan napas secara otomatis. Hanya berhadapan dengannya seperti ini saja mampu mengacaukanku hingga lupa cara menghirup udara.

"Oh," Firza—begitu aku selalu memanggilnya—tampak terkejut melihatku berbengong ria di depan pintu ruangannya. Senyumnya terkembang. "Masuk, Nattaya. Saya ke TU sebentar ya." Firza memiringkan badannya yang tinggi dan kokoh itu ketika melangkah melewatiku.

Refleks aku menarik diri, bergerak mundur demi menciptakan ruang lebih banyak di antara kami. Perbuatanku itu tampaknya menggelitik Firza, karena ia berhenti melangkah. Di sana, di netranya, aku bisa melihat ada pendar geli.

"Saya enggak menularkan virus, Nattaya. Enggak perlu menghindar kayak gitu," ucap Firza santai.

Tidak perlu diperintah, organ pemompa darahku bekerja lebih cepat. Debarannya seperti sampai ke telingaku. Tidak karuan dan benar-benar mengganggu.

Melangkah masuk ke ruangan Firza, kubanting pintu hingga menutup, tepat di depan wajah sang pemilik. Persetan sopan santun. Aku tidak sudi Firza sampai menyadari bahwa kehadirannya, dari dulu sampai sekarang, selalu berhasil membuatku merasa jadi abege labil yang baru jatuh cinta.

Tidak ada yang spesial dari ruang kerja Firza. Ukuran serta interiornya sama dengan ruang dosen lain. Satu yang membedakan: aromanya. Campuran suatu yang maskulin tetapi manis.

Aku masih ingat betul dengan wangi ini. Dulu sekali, aroma menyenangkan ini begitu berharga bagiku. Sayangnya, kini jadi hal yang paling kuhindari. Sialnya, Firza dan segala hal yang berhubungan dengannya menguarkan wangi tersebut.

I Still Do [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang