Bab 4 - Jangan libatkan aku

17.6K 2.2K 29
                                    

Jarak antara almamater sekaligus tempatku bekerja kini sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya saja, ada beberapa titik macet yang harus dilalui. Dalam keadaan normal, waktu tempuh dengan menggunakan mobil tidak sampai setengah jam. Namun, beda cerita jika di sekitar waktu pulang kerja. Paling cepat, aku baru bisa tiba di rumah setelah satu jam perjalanan.

Dulu, ketika pertama kali menemui kemacetan ini, rasanya aku ingin menerbangkan mobil ke udara. Seiring berjalannya waktu, aku akhirnya terbiasa. Sore ini, lagi-lagi aku kembali berharap mobilku punya sayap. Bagaimana tidak, persis di belakang, Firza duduk manis di atas motornya, terjebak kemacetan yang sama denganku. Lelaki itu sesekali melambaikan tangan, begitu percaya diri aku menyadari keberadaannya.

Ketika akhirnya tiba di depan rumah, aku melongokkan kepala keluar jendela mobil.

"Za!" panggilanku disahuti oleh deru motor besar Firza. Ia melajukan motornya, berhenti persis di sebelah pintu sisi pengemudi, tempatku duduk.

"Udah siap bicara sama saya, Mbak Nattaya?" tanya Firza dari balik helm.

Firza memang selalu punya cara mengusikku. Aku sengaja melarikan diri, setelah berlama-lama di ruang kerja Danni tadi. Aku baru kembali ke ruanganku mendekati jam pulang. Itu pun hanya untuk mengambil tas, lalu segera pulang.

Siapa yang menyangka kalau Firza malah membuntutiku seperti barusan. Secara terang-terangan pula!

"Mau ngomong di rumah lo, atau di rumah gue? Atau, mau ngobrol di warung depan kompleks?" Firza menawarkan dengan gayanya yang kelewat santai. Tahu betul dia, aku tidak punya tempat untuk kabur lagi.

"Tunggu sini, gue parkir mobil dulu," perintahku.

Sementara aku memarkirkan mobil di garasi, Firza menunggu dengan patuh di depan rumahku. Benar-benar tidak memberiku celah sedikit pun untuk mengelak lagi. Tubuh tingginya duduk nyaman di atas motor.

"Jadi, mau ngobrol di mana?" tanya Firza ketika aku menghampirinya. Ia hendak mengenakan helm lagi, namun segera kutahan.

"Ngobrol di sini aja."

Firza mengangguk setuju. Ia lalu turun dari motornya, membuatku mundur dua langkah demi menjaga jarak aman.

Sebelum Firza buka mulut, aku mendahuluinya. "Kalau lo mau ngebahas soal nikah lagi, jawaban gue tetap sama. Daripada lo ngejar-ngejar gue, mendingan lo ladenin anak bimbingan lo. Sekalian, ajarin sopan-santun biar enggak kurang ajar sama yang lebih tua."

"Elok ngomong apa sama lo?"

Nah, dia langsung paham. Bagus, jadi aku tidak perlu repot-repot menyebut nama gadis arogan itu. Lidahku mendadak enggan.

"Lo tanya sendiri aja sama dia," tandasku, masih kesal setengah mati mengingat sikap Elok yang seenak jidat.

"Mau ngomong itu aja, kan? Kalau gitu gue masuk ya, masih ada kerjaan yang belum selesai gara-gara kalian." Separuh menggerutu, aku melangkah memasuki pekarangan rumah.

"Gue enggak ada apa-apa sama Elok!"

Tidak ada apa-apa katanya?!

Kubalikkan tubuh. Kupandangi Firza dengan tajam. "Kalau kalian para lelaki enggak nunjukin sikap yang bisa disalahartikan, para perempuan juga enggak bakal berharap!" Napasku memburu tatkala kakiku kembali melangkah mendekat ke Firza. "Gue enggak tau apa yang terjadi di antara kalian. Entah lo yang ngasih harapan, atau dia yang kegatelan. Gue enggak peduli juga sih. Yang jelas, jangan seenaknya ngelibatin gue!"

Usai menumpahkan kekesalan, separuh berlari aku masuk ke dalam rumah. Mama menyambutku, menawarkan semangkuk soto yang menguarkan aroma menggiurkan. Biasanya, aku pasti akan langsung menuju dapur, menyantap masakan Mama yang selalu mampu memanjakan lidahku. Tapi kali ini, aku menolak dan langsung menuju kamar.

I Still Do [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang