BAB 2~ Ndak sopan blas ^.^

69 12 0
                                    

Seusai dari kamar mandi, maksud hati ingin mencatat pesanan pembeli di meja ujung. Itung - itung berlagak rajin karena shiftku sudah hampir selesai. Tapi kuurungkan niatku, karna tahu tiga pengunjung itu adalah orang - orang yang aku kenal. Beberapa memori terputar kembali di otakku, sungguh pengalaman masa kecil yang sangat ingin kulupakan.

 Beberapa memori terputar kembali di otakku, sungguh pengalaman masa kecil yang sangat ingin kulupakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*Flashback on*

Hari itu gerimis, gadis kecil berdiri di lorong kelas sendirian menunggu hujan reda, juga menunggu laki - laki yang sedang bermain hujan bersama teman perempuannya dan sepupunya. Gadis kelas 3 SMP itu membawa sepucuk surat di tangannya yang sesekali berhantaman dengan air dari rambut si gadis. Ia melihat jauh ke arah laki - laki yang badannya basah kuyup. Laki - laki itu menyadarinya tapi tidak menghiraukan. Dengan sabar gadis itu menunggu, ia seperti seorang penonton film romantis sekarang ini. Mari tebak aku yang mana.

Kalian salah! Aku adalah penontonnya, sedangkan Jason adalah yang sedari tadi kuamati. Aku dan Jason memang lumayan akrab, biasanya aku akan dengan senang hati mengejarnya dan ikut bermain dengannya. Entah kenapa pada hari itu rasanya sangat canggung. Perasaanku kalut, aku sangat takut jika aku tidak bisa bertemu dengannya lagi. Pada akhirnya aku menulis surat untuk jason yang hanya berisi satu kalimat yang sangat memalukan. Aku harus memberikan padanya sekarang sebelum semua terlambat!

"Bipp... Bipp..." Suara dering teleponku, ternyata dari Sisilia tetanggaku yang sebaya denganku. "Kamu harus pulang sekarang! Ada polisi yang datang kerumah!" kata Sisilia dari telepon. Aku sudah menduga dan aku tidak terkejut, tapi aku harus pulang untuk menguatkan hati mama. Ini memang sudah seharusnya terjadi. Masa bodo tentang surat, kulemparkan surat itu bersama rasa kesalku pada Jason yang tak kunjung menghampiriku. Aku berlari ke rumah, ditemani hujan yang semakin lama semakin deras.

Ternyata benar. Dua orang polisi berjaga di kanan kiri ayah padahal tangan ayah sudah terborgol. Aku berheti di kejauhan, tidak mendekat tidak juga lari. Biarkan hujan ini membuatku seperti menangisinya padahal aku sedang bahagia. Dia adalah beban dalam hidupku, sumber kesialanku. Dia tidak menafkahi kami dan selalu mengagung - agungkan judi online nya. Hutangnya dimana - mana, hingga aku tidak punya muka untuk bertemu orang - orang. Masih baik tidak ada temanku yang mengetahuinya!

Lima menit berlalu, mobil polisi juga berlalu. Mataku mengikuti roda mobil polisi yang berputar, bersamaan dengan sadarnya aku bahwa Jason melihat kejadian ini. Entah sejak kapan ia berdiri disitu, tapi samar - samar wajahnya kikuk. Lagi - lagi dadaku sesak, sepertinya oksigen mendadak lari dari tubuhku. Tiba - tiba aku tidak ingin bernafas. Bagaimana perasaanmu jika temanmu, bukan, orang yang kamu sukai melihat sisi gelap dari hidupmu sedangkan hidupnya teramat sangat cerah. Hidupnya dikelilingi bintang sementara aku hanya semut yang bermimpi ingin hidup di langit bersama bintang - bintang nan indah. Aku berlari masuk ke rumah tanpa memerdulikan Jason yang masih tertegun.

Setelahnya, kami yang biasa saling mengolok jadi saling terdiam. Absen kami yang dekat membuat kami terkadang satu kelompok, tapi kami hanya bicara seperlunya. tidak terdengar ejekan "biting" dan "bapao" lagi. Sama sekali tidak ada kebencian untuknya, aku hanya terlalu takut ia mengingat kejadian itu dan membeberkan segalanya. Jason yang tengil jahil dan suka menggodaku, kupikir dia bisa saja mengolok - olok aku anak penjahat.

*Flashback off*

Ketakutanku masih sama. Apalagi setelah melihat kedekatan Jason, Bryan dan Ko Evan aku jadi was - was kalau Jason menceritakan semua yang dulu ia lihat, atau mungkin sudah? Memikirkan reaksi terkejut Ko Evan membuatku ingin lari dari sini. Dia terlalu baik untuk berteman dengan gadis sepertiku. Perasaanku pada Jason sudah lama hilang, atau mungkin memang tidak benar - benar ada. Lagipula waktu itu aku masih terlalu kecil untuk menyukai seseorang dengan serius. Kalau boleh pilih daripada Jason harusnya aku menyukai Ko Evan yang baik, dewasa, dan perhatian bukan Jason yang jahil, menyebalkan, suka nyontek pr, dekat dengan banyak cewek!

"Jes, sini!"

Matilah aku, Ko Evan memanggilku. Habis sudah aku harus bertemu biting. Dengan sangat waspada dan menghindari wajah jason, aku berjalan menghampiri ketiga cowok itu. Dengan sekali lirik saja aku sudah bisa lihat bahwa ia mencoba mengingat - ingat siapa aku.

"Bapao?" Jason melihatku dengan masih menerka - nerka.

"Ooo... Bapao yang... Aaa!! Sakit woy!" Kalimat Bryan tidak tuntas karena kakinya diinjak oleh Ko Evan. Entah apa yang tidak boleh di katakana sampai kaki Bryan diinjak. Mungkin saja dibelakang mereka sudah membicarakan tentang penangkapan itu, Jason menyebalkan! Kami terdiam beberapa saat, Bryan dan Ko Evan saling melihat sedangkan Jason masih dengan tatapannya yang memuakkan, atau mungkin malah memabukkan.

"Maaf shift kerjaku sudah selesai, nanti biar dilayanin sama yang lain." karena suasana terlalu canggung, kabur adalah jalan ninjaku.

Aku berjalan cepat menuju loker, menyimpan celemek seragam kerjaku, mengambil tas lalu pergi secepat kilat. Semua terlihat aman, tidak ada yang mengejarku. Sampailah aku pada ambang pintu kafe yang artinya aku lolos. Kupelankan jalanku dan menghela nafas panjang merasa bersyukur aku bisa keluar dengan selamat. Sampai aku sadar bahwa ada seseorang yang keluar dari mobil putih.

"Bapao, kan!" sekarang Jason benar - benar yakin bahwa itu adalah aku. Ini pertama kalinya suara ringannya ia gunakan untuk menyebutku sebagai bapao semenjak kejadian itu. Dia suka menyebutku bapao karna aku gendut sedangkan aku memanggilnya biting karena dulu dia sangat kurus seperti lidi atau biting. Tapi kami sama - sama telah berubah.

"Aku udah kurus kenapa masih dipanggil bapao sih?" Jawabku dengan nada yang ramah.

"Hahaha... Badanmu aja yang kurus, tapi pipi masih kaya bapao!" ia meledekku sembari mencubit pipiku. "Perasaan dulu tinggi kita sama, kamu menciut ya?" sekali lagi mulut Jason meledekku.

"Masih resek kaya dulu ya kamu!" kataku sambil memanyunkan bibir dan memasang wajah marah, tapi tidak bertahan lama karena setelahnya Jason berkata seperti ini.

"Bibirnya minta dicium?" setelah mengatakan seperti itu kami sempat beradu pandang, lalu canggung lagi. Jason menggaruk rambutnya dan sedikit mengacak - acak rambutnya sendiri, bisa terlihat mungkin dia sedang mengatakan seperti ini dalam hati, ngapain sih aku ngomong gitu? sedangkan aku memalingkan wajah untuk mengatur raut wajahku.

"Mau pulang? Aku anterin yuk." kata Jason mengalihkan percakapan.

Apa lebih baik aku punya waktu berdua dengan Jason ya untuk meluruskan kesalahpahaman yang pernah terjadi? Ketika ingin menjawab iya, seseorang menepuk pundakku.

"Jes, aku harus foto endorse nih. Kita fotonya dirumahku aja." ternyata Ko Evan. Kecewanya aku padahal aku ingin sekali pulang dengan Jason, tapi yasudah lah ini kan memang pekerjaanku.

"Ko, boleh pinjem Jesika bentar nggak? Aku mau ngomong sesuatu sama dia." minta Jason.

"Ntar aja Je, biar dia selesaiin foto dulu sama aku." jawab Ko Evan ringan. Lalu kami sepakat.

Ko Evan mengantarku ke kos untuk mengambil kamera bersama dengan adiknya, Bryan, lalu kami berangkat ke rumahnya. Lalu Jason? Dia pergi ke showroom mobilnya, bekerja, dan semoga sempat terlintas tentangku dipikirannya supaya bukan hanya aku yang memikirkannya di sepanjang perjalanan.

Desember 13Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang