Kepalaku sangat berat, untuk membuka mata pun aku kesulitan. Aku tahu betul aku sedang terbaring tapi bukan di kamarku. Kubuka mata perlahan - lahan, aku penasaran apa yang menggajal di kepalaku ini. Ketika membuka mata dengan sempurna, pandanganku masih lumayan kabur, namun sudah terlihat bahwa ini rumah sakit. Aku ingin mencari cermin, tapi terlalu lemah untuk bangun. Di bagian wajahku sudah tidak terasa gatal atau panas lagi. Kuusap pipiku namun yang bersentuhan dengan tanganku bukanlah pipiku, seperti perban tapi aku masih belum yakin. Rasa penasaranku mengalahkan efek lemas dari obat bius, aku turun dari ranjang berjalan perlahan menuju bagian pojok dari kamarku, tepatnya didekat pintu kamar mandi dengan mendorong tiang penyangga infus. Aku melihat wajahku di cermin, aku tidak melihat wajahku namun melihat mumi. Aku meratapi wajahku yang diperban, separah inikah lukanya? Ingin sekali aku membuka perban ini, berharap ketika membukanya wajahku tidak lagi kenapa - kenapa, tapi aku terlalu sadar sekarang ini. Tidak mungkin diperban jika tidak ada apa - apa dengan wajahku.
Seseorang membuka pintu kamarku, aku melihatnya dari cermin. Ko Evan yang sedikit terkejut melihatku tidak terbaring, matanya terbelalak namun sembab. Ia berhenti cukup lama di dekat pintu, dan aku masih melihatnya dari cermin.
"Jes..." setelah memanggilku badannya jatuh ke lantai menempatkannya pada posisi berlutut. Ia tertunduk seperti tidak punya tulang leher untuk menyangga kepala. Aku berbalik menghampirinya tapi masih tidak bicara apa - apa.
"Maafin aku ya, aku nggak ada maksud buat bikin kamu kaya gini. Aku nggak tahu ada apa di serum yang aku kasih ke kamu." Ko Evan menangis sesenggukan sambil sesekali menatapku tapi tidak lama. Air mataku tak bisa kutahan lagi, tapi aku berusaha untuk tegar. Aku masih belum bisa berkata apa - apa. Aku terlalu bingung siapa yang layak kupersalahkan atas rusaknya wajahku ini.
"Demi Tuhan aku nggak ada niat bikin kamu kaya gini, aku sayang sama kamu mana mungkin aku setega ini sama kamu."
Tidak ada sedikit pun dalam diriku perasaan ingin menuduhnya. Ko Evan baik dan tidak ada alasan yang tepat untuknya merusak wajahku. Aku memeluknya untuk saling menenangkan. "Aku tahu bukan kamu pelakunya, tapi siapa yang tega ngelakuin ini ke aku, ko?" aku masih memeluknya bahkan lebih erat. Aku tidak punya seseorang yang bisa kupercaya sebaik Ko Evan sekarang.
Seseorang memasuki ruanganku. Menyadarinya aku langsung melepaskan pelukanku ke Ko Evan. Terlihat sosok wanita yang kira - kira seumuran ibuku namun lebih modis. Ia menghampiriku dengan takut, lalu meraih tanganku.
"Jesi, kamu jangan sedih ya nanti kita cari pelakunya sama sama." Wanita itu mengusap kepalaku dengan lembut membuatku semakin ingin menangis. "Kita ngobrol sambil kamu tiduran ya, kamu butuh banyak istirahat." wanita itu merangkulku kembali ke tempat tidur dan membantuku untuk merebahkan badan lagi. "Tante ini mamanya Evan, kamu kalau ada apa - apa bisa minta tolong tante ya, jangan sungkan." ibu dan anak yang sama - sama baik!
"Jes, kamu hubungi orang tua kamu dulu ya," Ko Evan menyodorkan handphoneku yang tadi berada di saku jaketnya.
Pernikahan mama tinggal menghitung hari dan mana mungkin aku memberinya kabar seperti ini. Mungkin pernikahan mama bisa diundur kalau tahu keadaanku. Lagi pula aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku tidak akan memberikan kesedihan pada mama. "Jangan dihubungi, mamaku nggak boleh tau!"
Kedua orang di sampingku terkejut, mereka saling memandang seperti sedang berbicara dengan ilmu kebatinan. Lalu Ko Evan menyanggahku, "Mamamu harus tau, Jes. Lukamu ini nggak main - main!" apakah memang separah itu lukaku?
"Iyaudah kalau Jesi maunya gitu, biar tante yang jadi mamanya Jesi ya! Kalau Jesi perlu apa - apa langsung bilang tante jangan sungkan, ya?" Sekali lagi mama cantik ini mengusap kepalaku membuatku merasa sangat disayangi. Aku mengangguk tak berdaya. Aku memang membutuhkan sosok perempuan sekarang. Mana bisa hanya mengandalkan Ko Evan. Siapa yang mau membantuku mandi? Evan?
Setelah menyuapiku dan melihatku minum obat mama cantik pamit pulang. Ia kekeh ingin pulang sendirian dan meminta Ko Evan menjagaku disini sampai nanti malam. Sampai punggung mama cantik menghilang di balik pintu aku baru berani menanyakan perihal keadaanku pada Ko Evan.
"Wajahku parah banget, ya?"
Ko Evan menghela nafas panjang. "Lebih baik kamu jangan tanya itu dulu, aku janji aku bakal bikin wajah kamu balik mulus kok!" ini bukan jawaban yang aku minta, aku cuma pengen tahu seberapa parah luka di wajahku.
"Kenapa harus kamu yang tanggung jawab?" belum sempat dijawab, seseorang terlebih dahulu membuka pintu kamarku. Aku dan Ko Evan menengok ke arah pintu dan menghentikan pembicaraan kami.
Jason menutup pintu dengan tak sabaran. Matanya berapi - api, langkahnya kasar dan matanya tertuju pada Ko Evan. "Bener - bener nggak nyangka aku!" Ia menghantam pipi Ko Evan dengan sekali pukulan lalu mengumpat dan menyusul hantaman kedua tepat di pipi Ko Evan sebelum aku sempat turun untuk melerainya. Ko Evan tersungkur sambil bersiap - siap menghindar. Aku hanya teriak histeris memanggil Jason sambil berusaha turun dari ranjang. Kulepaskan infusku setelah berhasil berdiri tegak, lalu aku menarik hoodie hitam Jason ketika ia ingin melancarkan usahanya untuk memukul Ko Evan lagi.
"Kok kamu belain orang yang udah bikin kamu sakit sih?" Jason menatapku heran.
"Bukan Ko Evan pelakunya!" aku menjawab Jason dengan halus. Api dalam diri Jason tidak bisa dibalas dengan api.
Kehalusanku tidak bisa membuat amarah Jason padam, dia malah meneriakiku. "Terus siapa?" dua kata yang bisa diucapkan dengan biasa saja malah ia ucapkan dengan bentakan. Tatapannya tepat ke mataku, memperjelas amarahnya yang tidak bisa melihat situasi. INI RUMAH SAKIT!
Ko Evan bangun lalu menarik hoodie Jason, menjauhkannya dariku lalu menghajarnya. "Jadi cowok jangan kasar dong sama cewek!" Mereka benar - benar saling pukul sekarang. "Tanya sana sama cewekmu, serum itu belinya di dia!!"
Aku yang merasa bukan tandingan mereka, memencet tombol merah yang akan membawa suster atau dokter ke kamarku, dan benar belum ada satu menit ada dua orang perawat laki - laki dan dokter perempuan datang. Melihat Jason dan Ko Evan yang bertengkar, salah satu perawat memanggil security dan membawa mereka berdua pergi. Sungguh memalukan!
Semua sudah meninggalkanku di kamar sendirian, sebelumnya perawat memasang kembali infus di tanganku. Aku terbaring lagi, sendirian sembari memikirkan soal kemungkinan bahwa pacar Jason yang melakukan ini semua. Masuk akal kan?
Aku mengerutkan dahi ketika seseorang ber hoodie hitam memasuki kamarku, lagi. "Jason!" yang dipanggil tidak menghiraukan, ia menarik kursi dan duduk di sebelah ranjangku. Wajahnya masih marah, entah pada siapa ia marah sekarang. Ia menggenggam sebelah tanganku yang tidak terdapat infus. Jangan dibayangkan ini adegan romantis, Jason menarik tanganku tidak dengan halus.
"Jangan nutupin apa - apa dari aku, serum itu dari Ko Evan kan? Serum yang bikin kamu kaya gini!" percayalah Jason yang kalian lihat di sosial media tidak seperti Jason yang ada bersamaku sekarang.
Aku bangun dari tidurku, tidak nyaman rasanya berbicara sambil tidur. aku duduk bersila di atas ranjang. "Iya emang dari Ko Evan, tapi bukan dia yang bikin aku kaya gini, Je!"
Jason yang tidak terima meneriakiku sekali lagi. "Kamu kenapa sih belain penjahat?"
Kuberi tahu aku bukan golongan gadis sabar. Kubalas teriakannya dengan teriakan dan tatapan marah. "Bukan dia yang jahat, tapi kamu!"
Jason berbalik badan, berjalan ke kaca. Dia sedang mengurangi emosi, lalu kembali lagi menatapku. "Besok kita ke Korea, kita cari dokter buat sembuhin wajah kamu!"
"Nggak mau." aku menjawabnya dengan sangat biasa saja. Aku tidak ingin berurusan dengan Jason, hidupku sudah cukup nano nano sekarang.
"Bisa nggak sih sekali aja kamu nurut sama aku!"
"Aku nggak mau dibilang ngerebut pacar orang!"
"Kalau kamu nggak tahu apa - apa kamu jangan asal ngomong! Setelah aku selesai urus paspor, kita berangkat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember 13
RomanceTeruntuk semua wanita yang sedang mengincar posisi menjadi jodoh Jason William Winata, saya harap kalian adalah wanita kuat. Kalian tidak boleh marah ketika dicaci, dibandingkan, dibenci, dan semua hal yang sebenarnya menyebalkan. Kalau boleh saya...