BAB 9 ~ Resmi?

61 9 0
                                    

Malam ini setelah makan malam, aku izin untuk langsung istirahat. Aku tidak lelah, tidak juga sakit, hanya saja aku malu terlalu lama berinteraksi dengan orang. Tak lama setelah aku di kamar, mama cantik menyusulku dan katanya ia ingin tidur bersamaku. Mama sangat protektif padaku, sampai tidur pun aku harus ditemani olehnya.

Mama mengusap rambutku beberapa kali, "Jesi, mama minta maaf ya," katanya sambil memandangi wajahku.

"Kenapa ma?" Siapa yang tidak heran kalau orang sebaik mama meminta maaf tiba – tiba. Menurutku dia sudah terlalu baik, sampai aku rela memaafkannya jika memang ia ada salah padaku.

"Mama... Mama belum bisa sembuhin wajah kamu. Pokoknya mama janji akan cari dokter terbaik supaya kulit kamu bisa kembali mulus ya, nak."

Kenapa aku melihat ada kesedihan di mata mama, seperti ia melihat anak gadisnya yang terluka. Apa sedalam itu ia menyayangiku? "Jesi yang nggak enak sama mama, mama udah baik banget sama Jesi." spontan aku memeluknya dalam tidurku, sungguh seperti memeluk ibu kandungku.

***

Selamat pagi kamarku yang sangat nyaman. Aku menarik nafas panjang sebelum terbangun dari posisi tidur. Mama sudah tidak ada di kamarku, mungkin ia sedang membuat sarapan. Jam menunjukkan pukul 6 pagi, aku tidak menemukan siapa pun di dapur. Sepi seperti tidak berpenghuni, apa orang – orang masih tidur ya? Aku berjalan kembali ke kamarku, melewati kamar Evan. Pintu sedikit terbuka dan aku penasaran lalu mengintip. Aku hanya menemukan Calvin yang masih tidur, sedangkan Evan dan Bryan tidak ada.

"Kamu pengen lihat wajah aku pas tidur ya?" seseorang berbisik tepat di sebelah telingaku membuatku seketika merinding.

Reflek aku memukul pundak seseorang yang membuatku merinding, dan ternyata Evan. "Ko!!!"

Ia membungkam mulutku dan menarikku untuk masuk ke kamar sebelah, yaitu kamarku. Sesampainya di kamarku ia tersenyum sambil berkata, "Kasian Calvin kemarin begadang ngerjain tugas, kamu jangan teriak – teriak."

Aku yang masih mengatur nafas berusaha untuk setenang mungkin berada di depannya. Kami sangat dekat, membuat jari – jari tangan dan kakiku dingin. "Ko,"

"Hmm??" Evan memandangiku, pandangannya tidak sedetik pun berpindah dari mataku. Aku menunduk, merasa sedang tidak percaya diri dipandang oleh siapa pun. Ia mengangkat daguku dengan tangan kanannya dan mengusap pundakku dengan tangan kirinya. "Mau kaya gimana wajahmu, kamu tetep Jesika yang aku sayang."

Situasi apa ini? Tuhan tolong jangan ada adegan romantis pas wajahku lagi burik dong elahh nggak asik banget!

Aku merasa Evan semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku, sekarang tangannya bahkan naik ke pipiku. "Ko, takut ada mama sama papa." kataku sembari berjalan mundur.

"Mama, papa sama Bryan pergi nggak tau kemana."

"Ada Calvin."

Evan menunduk kesal, wajah kesalnya yang membuatku sangat gemas ingin mencubit pipinya. Seperti menemukan ide bagus, Evan tersenyum padaku. Ia berjalan ke arah pintu lalu menguncinya dan setelah itu ia kembali padaku. "Calvin nggak akan tau."

Ia kini menarik pinggangku, membuat kami sangat dekat. Melihat Evan membuatku lupa tentang wajah burukku, aku seperti terhipnotis olehnya. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku, lagi – lagi ia berbisik. "Jes, aku sayang kamu. Dari dulu sampai sekarang."

Aku melotot terkejut. Rasanya terlalu tiba – tiba. Betapa bodohnya aku tidak menyadari perasaan Evan. Jadi selama ini aku bercerita tentang orang yang aku suka kepada orang yang menyukaiku?

Evan kembali menatapku, "Aku tahu kamu suka sama Jason, tapi aku, aku nggak bisa bohong soal perasaanku. Aku mau jagain kamu, aku nggak mau ada siapa pun ganggu kamu!"

Jason hanya masa lalu, aku harus mulai berfikir untuk masa depanku. Sejujurnya, pernah terbersit di benakku untuk menjadi pacar Evan. Dia baik, keluarganya pun menyayangiku, dia pekerja keras, dia juga bukan tipe laki - laki yang suka mempermainkan hati perempuan, tidak seperti Jason. Aku tidak punya alasan untuk tidak menerima perasaannya. Mungkin ini kesempatan untukku untuk mendapat kasih sayang tulus dari seorang laki – laki. Situasi yang belum pernah aku rasakan sampai sekarang ini.

"Apa nggak ada sedikit aja perasaan buat aku?" Wajah Evan mulai putus asa, mungkin karena aku terlalu lama terdiam.

"Aku sayang sama Ko Evan."

"Eh... Kamu serius?" kujawab dengan anggukan.

Semesta sepertinya sedang menginginkan adegan romantis, ia membuatku percaya diri walau dengan wajah yang sedang tidak mendukung. Evan membelai rambutku, kini rasanya benar – benar damai. Seperti ada yang mendorongku untuk mengikuti gerak Evan, ia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan aku mengikutinya. Aku merasakan nafasnya yang menderu, detak jantungnya yang tidak stabil. Aku menutup mata, membiarkan semesta yang mengatur jalan ceritanya.

"DIM... DIM..." Aku dan Evan terkejut bukan main saat mendengar suara klakson mobil. Kami saling menjauh, membalikkan badan, menggaruk kepala yang tidak gatal dan akhirnya Evan keluar dari kamarku, meninggalkan aku yang masih termenung. Kami belum melakukan apa – apa. Bahkan aku masih belum yakin kami sekarang pacaran atau tidak.

Aku duduk di depan cermin sambil tersenyum malu. Karena kejadian tadi aku jadi ingin cepat – cepat memperbaiki wajahku. Aku masih sibuk bermain – main dengan halusinasiku sendiri, sampai tidak sadar kalau mama memperhatikanku.

"Jesi, besok lusa kamu berangkat ke Korea ya buat operasi wajah. Nanti Jason yang temenin kamu." tanpa basa – basi mama mengatakan hal seperti itu. Wajahnya tidak seramah biasanya.

Aku yang tidak terima langsung mendekati mama. "Kenapa harus sama Jason, ma? Kenapa nggak sama mama aja, atau sama Ko Evan." Bukannya pacar Jason yang melakukan ini semua? Jadi kenapa harus Jason yang menemaniku berobat?

"Nggak apa – apa Jesi, Jason baik kok. Kita sudah sepakat kalau Jason yang antar kamu ke Korea. Mama harus urus bisnis, dan Evan..." Mama seperti sedang memikirkan sesuatu, lebih tepatnya mencari alasan.

"Ko Evan kenapa ma?" belum mendapat jawaban dari mama, Evan sudah berjalan mendekati mama.

Evan mengeluh sama sepertiku. "Ma, kenapa harus Jason sih ma? Aku juga bisa kok jagain Jesi."

Mama hanya memijit kepalanya sambil menggigit bibir bawah. Ada apa sebenarnya dengan pagi ini.

"Ma, jawab Evan kenapa harus Jason yang anterin Jesika?"

"Evan Jesika cukup!" Papa menyusul kami dan angkat bicara. Kami semua terkejut mendengar papa yang membentak. "Ini sudah keputusan keluarga kita dan keluarga Jason, kalau lusa Jason dan Jesika berangkat ke Korea."

"Iya tapi kenapa, pa?" Evan masih tidak terima dengan keputusan ini, sebenarnya aku juga tidak.

Papa semakin arogan, wajahnya memerah. "Evan, kamu jangan bantah lagi. Sekarang kalian semua masuk kamar!"

"Pa, jangan kasar sama anak – anak," dengan sabarnya mama mendinginkan suasana. "Evan, kamu nurut ya sekali ini aja, yuk masuk kamar."

Satu per satu meninggalkan aku, Evan, papa, dan yang terakhir mama cantik. Sebelum pergi mama tidak lupa mengusap pundakku seakan berkata, semua akan baik – baik saja. TIDAK! INI TIDAK BAIK!

Desember 13Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang