03 : The Seo

692 146 79
                                    

"Ada 23 potong kue, lalu dimakan 5 potong. Itu artinya, 23 dikurangi 5," jelas Dejun sambil menulisnya di kertas coretan. Perhatiannya teralih pada si sulung yang menguap. Dejun tertawa kecil.

"Sudah mengantuk, ya? Ya sudah, ayo tidur. Kakak hebat sudah menyelesaikan tugas sekolah hari ini."

"Terima kasih, Bunda." Yangyang membereskan meja belajarnya dibantu Dejun. Lalu anak itu naik ke kasur atas.

Tak lama setelahnya, Hendery masuk ke kamar, dengan tangan kanan menggendong Sungchan dan tangan kirinya membawa sebuah buku cerita.

"Tadi tertidur di depan tv," kata Hendery. Pria itu membaringkan si bungsu di kasurnya. Lalu menyimpan bukunya. Ia menatap sang kakak di kasur atas.

"Sudah siap semua tugasnya?"

"Sudah, Ayah," balas Yangyang mengantuk.

"Good." Hendery mengusap surai si sulung.

"Selamat malam, Ayah. Selamat malam, Bunda."

"Selamat malam juga."

Dejun mematikan lampu dan keluar disusul Hendery. Tangan Hendery tiba-tiba merangkul pundaknya erat sambil terus berjalan ke kamar.

"Sepertinya kemarin aku baru saja menggendong Sungchan begitu ia baru lahir. Tapi kenapa sekarang makin berat, ya?" celetuk Hendery.

"Rasanya aku baru kemarin mengajari Yangyang mengeja, sekarang sudah pandai berhitung," balas Dejun.

"Jadi?"

Dejun menoleh. "Jadi apa?"

"Kesimpulannya adalah anak-anak kita semakin besar dan kita semakin tua." Mata Hendery memicing, menatap Dejun dari bawah hingga atas. "Tapi sepertinya umur hanya angka. Istriku tetap seperti dulu. Cantik."

"Kau ini, bisa saja." Dejun mencubit pelan perut Hendery. Saat sampai kamar, barulah ia teringat sesuatu. "Hendery, aku ingin bicara sesuatu."

"Apa?" Hendery merebahkan diri di atas kasur.

Istrinya ikut berbaring di samping. "Uhm ... aku ingin kembali bekerja di tempat Kak Yuta."

Hening.

"Lalu..," Si Wong bersuara, tatapannya lurus pada langit-langit kamar, "Bagaimana dengan anak-anak?"

"Aku tetap menjemputnya pulang sekolah, lalu kutitipkan di rumah Yuta."

"Dejun-ah," Hendery memiringkan tubuhnya menghadap istrinya. "Aku tidak melarangmu untuk bekerja. Tapi kamu tahu kan, aku tidak suka merepotkan orang lain."

"Mereka teman dekatku."

"Aku tahu, Dejun. Tapi bukan berarti kamu bisa merepotkannya, kan?" ucapnya. "Kenapa tiba-tiba ingin kembali kerja?"

"Tentu saja karena masalah kemarin. Lima puluh juta itu sangat banyak, Hendery. Meski aku tahu pendapatanku tidak seberapa ... mungkin aku akan mencari jalan lain. Jadi, boleh ya?"

Suaminya terdiam. Menatap si manis yang balik menatapnya penuh penantian. Ia terus menimbang-nimbang, tetapi kemudian ia menghela napas.

"Kita bahas besok saja. Ini sudah terlalu malam."

Dejun memanyunkan bibirnya. "Baiklah."

Pria bersurai hitam itu menarik selimut hingga menyentuh dagu istrinya. Senyum manis terukir di bibirnya. "Terima kasih, aku sangat menghargai keputusanmu untuk bekerja. Tapi aku tidak bisa menjawabnya sekarang, maaf ya."

Si manis mengangguk. "Tidak apa-apa."

Hendery mengecup singkat pipi Dejun. "Selamat tidur, Dejun-ah. Jangan lupa berdoa, hehe."

Faith ; henxiao [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang