"Hei, tenangkan dirimu," kata Winwin lembut sambil menepuk pundak temannya.
Winwin dan Dejun berada di dapur. Ia memberi kursi agar Dejun bisa duduk, menenangkannya bahkan membuatkannya teh panas. Tetapi pria manis itu masih menangis, tanpa mau bercerita. Winwin jadi bingung sekaligus khawatir.
Lama-lama, Dejun mulai berhenti menangis. "Aku tidak bisa menceritakannya.."
Yang lebih tua tersenyum sambil mengusap pundak Dejun. "Tidak masalah. Sudah lebih baik?"
Ia mengangguk kecil. "Terima kasih. Tolong rahasiakan ini dari Hendery."
Winwin ragu. "Tapi dia suamimu ... kamu akan menyimpannya sendiri?"
"Aku ... akan menceritakannya nanti," balasnya lirih.
"Baiklah. Jangan pernah memendam masalahmu sendiri, Dejun."
Tepat setelah itu, Yuta kembali sehabis menjemput Yangyang dan Sungchan. Kedua anak itu terkejut melihat keadaan ibunya.
"Bunda kenapa?" Dua kakak-beradik itu langsung mendekatinya.
"Bunda baik-baik saja, sayang," jawab si manis memaksa senyum.
"Bunda jangan menangiiss.." Sungchan memeluknya erat. Wajahnya terlihat khawatir dan takut.
"Bunda sudah tidak menangis lagi, kok." Dejun memeluk mereka berdua. Suasana hatinya cukup membaik melihat kedua putranya.
"Apa kamu melihat orang yang berbicara dengan Dejun tadi?" tanya Winwin pada suaminya.
Yuta menggeleng. "Tadi aku di dapur. Yang menjaga kasir bukan aku."
"Sudahlah, Kak. Tidak usah dibahas lagi. Aku sudah lebih baik.."
"Ya sudah. Lebih baik kamu beristirahat saja di rumah," kata si pria Jepang akhirnya.
Winwin mengangguk. "Eh, sebentar." Ia beranjak ke kasir. Tak lama kemudian, ia kembali dengan sebuah amplop coklat. "Ini penghasilanmu hari ini. Ada sedikit tambahan, kami pinjamkan padamu. Tidak seberapa, tapi aku harap bisa membantu."
Si Xiao lantas berdiri dalam keterkejutannya. "Terima kasih ... terima kasih banyak." Dejun menerima amplop itu dan membungkuk dalam-dalam.
"Itu bukan apa-apa, Dejun. Meskipun banyak hal yang kamu pikirkan, tetap jaga kesehatanmu," tandas Winwin.
***
Sejak pulang dari kedai tadi, Dejun tidak bisa tenang. Acara yang ditampilkan di tv tidak lagi ia perhatikan. Ada rasa takut yang begitu besar di hatinya. Benaknya hanya ada dua nama: Hendery dan Johnny.
Saking asyiknya melamun, Dejun sampai baru menyadari kedua putranya berebut pensil.
"Hei, ada apa ini?" Dejun turun dari sofa, mendekat ke dua anak yang duduk di karpet mengerjakan PR.
"Sungchan merebut pensilku," adu sang kakak.
"Aku kan cuma mau pinjam," rengek adiknya.
"Tapi Kakak mau mengerjakan PR!" balas Yangyang.
"Hush, Kakak jangan membentak," tegur Dejun pelan. "Adik, dimana pensil Pororo yang Ayah belikan dulu?"
Si bungsu cemberut, lalu menggeleng lemah. "Tidak tahu.."
"Tidak tahu? Pasti terselip di suatu tempat di kamarmu. Ayo, Bunda bantu mencari," ajak si manis. "Kakak, selesaikan saja tugasmu."
Benar saja. Setelah beberapa menit mencari di tiap sudut kamar, rupanya pensil kesayangan Sungchan ada di kolong tempat tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faith ; henxiao [on going]
Fanfiction❝Aku tidak takut menjadi miskin. Aku tidak takut kehilangan rumahku. Tapi aku lebih takut ketika orang yang kucintai mengkhianatiku..❞ ❝..Karena kepercayaan jauh lebih berharga dari berlian sekalipun.❞ ▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄ - story by liuphoria...