10 : Scars (2)

584 120 54
                                    

Early update, hihi 🤭🤭

***

"Segera selesaikan urusanmu dan kembalilah ke Amerika." Hendery menghembuskan asap rokoknya. "Aku tidak ingin melihatmu."

Pria Wong itu sudah cukup tenang, setelah tadi nyaris menonjok wajah teman ayahnya. Yang akhirnya ia lakukan hanya mengancamnya untuk tidak mengganggunya dan istrinya lagi. Setelah itu, pria tadi pergi.

Entah mengapa, semua sumpah serapahnya tertahan di lidah. Hatinya begitu tak menentu, membuatnya tak mampu banyak bicara. Semakin suasana hatinya memburuk, ia akan semakin diam.

"Aku hanya ingin sedikit membantu kalian," kata Johnny.

"Aku tak butuh pembelaanmu," respon putranya. "Aku meminta baik-baik. Silakan lakukan apapun yang kau mau, tetapi jangan melibatkan yang lain."

Hendery melanjutkan, "Kau dan aku memiliki kehidupan yang berbeda. Jangan hanya karena hubungan darah, kau berhak mengacau dengan keluargaku. Seharusnya kau tahu batasan." Ia kembali menyesap rokoknya. "Sejak awal, kita hanya terikat darah. Sisanya, apa? Kita seperti orang yang tak saling kenal."

Johnny masih diam. Hendery meneruskan.

"Kau tahu, Pa? Aku tidak lagi marah padamu karena masalah yang dulu. Aku memiliki kehidupan untuk kuurusi sendiri. Begitupun kau. Saat itu aku memilih untuk ikut Mama. Itu artinya, kau tidak ada hak untuk mengatur hidupku. Lagipula, aku sudah dewasa."

Pria bernama Hendery itu lantas berdiri. Menyelipkan batang nikotin tadi ke bibirnya, lalu satu tangannya ia masukkan ke saku jaketnya. Sedang yang lain sibuk memainkan kunci motornya. Pikirannya menimbang-nimbang sesuatu.

Beberapa saat diam, Hendery membuang rokoknya ke dalam asbak. "Mari kita anggap semuanya selesai. Jalani hidupmu seperti biasanya, jangan ganggu aku dan keluargaku."

"Kenapa?" Johnny akhirnya bersuara. "Setelah semua yang aku lakukan, ini caramu merespon? Apa kau memang selemah itu?"

"Mungkin? Aku bermurah hati padamu, karena mungkin saja Tuhan tengah menyiapkan balasan besar untukmu." Hendery tersenyum miring. "Lagipula, aku masih menghargaimu. Meski aku tak lagi menganggapmu ayahku, setidaknya kau sudah menyumbang namamu di atas akta kelahiranku."

"Kau sama seperti Yongqin." Kalimat Johnny menahan langkahnya. "Kalian sangat sentimental."

"Kami menggunakan hati sebagaimana mestinya. Kau tidak akan paham karena hatimu sudah membatu."

Selesai berucap, Hendery segera pergi dari sana. Haechan hanya diam, menatap ayahnya dan kakaknya bergantian.



***


Hendery pulang kerja dan sampai rumah hampir pukul tujuh. Keningnya berkerut heran ketika mendapati seseorang yang familiar sedang menunggu di teras.

"Haechan?"

Yang dipanggil langsung berdiri. "Akhirnya kau pulang juga, Kak."

"Sejak kapan menunggu di sini?"

"Tadi sore."

"Kenapa tidak menghubungiku? Atau datang saja ke kantor." Yang lebih tua membuka kunci rumah. "Ayo masuk."

Haechan mengekor ke dalam, tak lupa menutup pintu. "Dimana yang lain?"

"Di rumah ibu Dejun." Hendery melepas sepatunya. "Mereka menginap di sana beberapa hari."

"Ah, begitu. Sampai kapan?"

Si kakak menatapnya. "Sampai aku bisa memaafkannya."

Haechan langsung diam, mengerti apa maksudnya.

Faith ; henxiao [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang