07 : The Truth

551 114 70
                                    

Pukul lima pagi Dejun sampai rumah dan segera mandi. Baru saja keluar kamar mandi, ia dikejutkan dengan anak kecil yang ada di meja makan, Yangyang. Dejun sampai mengelus dada saking kagetnya.

"Kakak sudah bangun? Ini masih pagi sekali," katanya.

"Dia juga yang membangunkanku." Hendery baru keluar dari kamar, masih terlihat mengantuk. "Yangyang mandi saja dulu. Ayah buatkan sarapannya."

Si sulung menunjuk handuk di pundaknya. "Aku memang mau mandi sekarang."

"Airnya dingin sekali, lho," sahut Dejun.

Hendery mengambil gelas dan berjalan ke dispenser. "Tidak apa-apa, biarkan saja. Nanti juga terbiasa, Yangyang akan jadi anak yang kuat seperti ayahnya."

Dejun tidak menyanggah lagi, pergi menjemur handuknya.

"Mandi sana. Kamu tidak akan sakit hanya karena mandi terlalu pagi," kekeh ayahnya.

Akhirnya anak berusia enam tahun itu menurut. Hendery meneguk air putihnya sejenak lalu bersiap membuat roti panggang dan susu untuk sarapan Yangyang. Tak lama, Dejun kembali dan menghampirinya. Membantu mengolesi selai cokelat ke atas lembaran roti tawar.

"Bagaimana keadaan Sungchan?" tanya Dejun.

"Sudah lebih baik. Tapi tadi jam dua atau tiga, aku lupa ... dia sakit perut. Diarenya belum sembuh." Si Wong menoleh. "Kamu sendiri bagaimana?"

Gerakan Dejun terhenti. Kepalanya tertunduk sambil meletakkan kembali pisau dan roti di tangannya. Jemarinya memainkan ujung kausnya. "Aku sudah dapat uangnya," ucapnya lirih.

Giliran Hendery yang berhenti. Ia mendekati si manis yang masih menunduk. Kemudian, ia tarik perlahan tubuhnya ke dalam pelukannya. "Terima kasih. Maaf, seharusnya ini tanggung jawabku," bisiknya.

"Tidak, ini tanggung jawab kita," balas Dejun pelan. "Aku juga minta maaf.."

"Untuk apa?"

Jeda sejenak, Dejun menggeleng kecil. "Bukan apa-apa, lupakan."

"Jangan membuatku takut, Dejun-ah."

Istrinya terdiam. Usapan lembut di punggungnya tak lagi bisa menenangkannya. Rasa takut itu malah semakin menjadi-jadi. Tangannya yang bergetar perlahan melingkar di pinggang Hendery, membalas pelukannya. Kemudian hanya diam selama beberapa saat. Hendery terus mengusap punggungnya, hingga Dejun tersentak kecil ketika teringat sesuatu.

"Aku lupa menyiapkan seragam Yangyang." Suara halus Dejun memecah keheningan.

Sang suami menahannya yang hendak pergi, sembari tersenyum. "Aku sudah menyiapkannya semalam, tenanglah."

Dejun terdiam. Memperhatikan suaminya yang kembali sibuk membuat sarapan. Seharusnya aku yang minta maaf. Seharusnya aku yang merasa takut.




***




Hendery baru saja sampai ke kantor. Ia cukup dikejutkan dengan seorang laki-laki yang tengah mengobrol dengan salah satu bawahannya yang bernama Mark. Laki-laki itu terasa tidak asing. Untuk meyakinkan dirinya, Hendery menghampiri keduanya.

"Haechan?"

Yang dipanggil langsung menoleh. Matanya membulat lucu. "Kak Hendery!" panggilnya, sambil memeluk kakaknya erat. Si kakak masih bingung, ia menatap Mark, tetapi pria itu malah pamit pergi.

"Haechan, tunggu." Hendery melepas pelan pelukan adiknya. "Ayo kita bicara."

Dan berakhirlah kedua kakak beradik itu di sebuah tempat makan depan kantor. Haechan terlihat diam, canggung. Sedangkan kakaknya terdiam dalam pikirannya sendiri.

Faith ; henxiao [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang