Gara duduk bersila di lantai menghadap sang Ibu yang tengah tertidur. Ia sudah mendengar semuanya dari sang Adik, entah mengapa pikiran dan hatinya kini bertarung hebat memperdebatkan berbagai hal. Ia seolah menyalahkan keadaan yang membuat Ibunya jadi seperti ini, tapi untuk apa mengkambing hitamkan keadaan? Lalu salah siapa? Salah Ayahnya yang pergi begitu saja? Atau salah dirinya yang memilih melanjutkan sekolah dan bukannya ikut membantu Ibunya memenuhi kebutuhan hidup?
"Hiks..." Tak sanggup lagi seorang Tenggara menahan tangisnya, sosok keras kepala dan pembangkangan ini kini menangis dihadapan sosok yang menjadi alasannya hadir di dunia ini.
"Abang kenapa nangis?" Suara serak nan lembut itu membawa sorot mata Gara menatap Ibunya
"Abang minta maaf Buu."
"Abang ga salah Nak."
"Tapi Abang gagal jagain Ibu."
"Bukan salah Abang sayang."
"Ibuk jangan tinggalin Gara ya? Gara belum bisa jagain Biu sendiri, Gara belum bisa bangun pagi sendiri, Gara belum bisa masak buat makan Gara Buu, Gara belum bisa apa-apa tanpa Ibu." Langit tersenyum lalu mengusap air mata yang membasahi wajah tirus putra sulungnya.
"Ibu disini Gara, Ibu ga kemana-mana."
"Besok Ibu ga usah kerja." Ucapnya yang membuat laki-laki cantik itu menautkan alis bingung
"Ibu gapapa." Langit mengubah posisinya menjadi duduk dan menghadap sang putra. Ia tatap lamat-lamat wajah yang dulunya terlihat sangat konyol dan terlihat seperti mudah tertindas itu, kini sudah berubah menjadi wajah tampan dengan rahang tegas. Tenggara-nya kini sudah berubah menjadi lelaki gagah berani.
"Anak Ibu udah ganteng ya?"
"Apasih." Gara melempar benang celananya yang sedari tadi ia tarik hingga putus. Langit terkekeh lalu mengembangkan kedua tangannya meminta agar anak sulungnya itu masuk kedalam pelukannya.
"Gara udah gede tau Bu, emang Biu yang mau peluk-peluk?" Langit mengangkat kedua alisnya seolah mengatakan 'yang bener?'. Gara malu jika harus terlihat lemah didepan Ibunya, karna disaat ia masuk kedalam pelukan hangat itu maka tangisnya pasti akan lebih kerasa dari sekarang ini. Gara tak mau, Gara lemah jika soal Ibunya.
"Ih cepetan Ibu pegel ini." Karna kesal tak kunjung direspon akhirnya pria itu menarik kedua bahu putranya lalu memeluknya erat.
"Anak Ibu hebat banget, udah dewasa pikirannya." Hancur sudah semua pertahanan sok hebatnya Gara, pemuda bermata secukupnya itu menangis sejadi-jadinya didalam pelukan sang Ibu. Terlalu banyak yang ia tahan sendiri selama ini, sehingga disaat ia diizinkan untuk melepaskan walau hanya tangisan terasa seperti tsunami yang menyerang kota, berbondong-bondong menghancurkan.
Keduanya terlalu hanyut dalam ruang sedih yang tercipta malam itu hingga tidak menyadari jika satu sosok lagi juga ikut menangis meringkuk memeluk dirinya sendiri. Ingin rasanya Biru masuk dan ikut memeluk keduanya, tapi ia tidak ingin merusak suasana. Mengingat Gara sangat jarang menyampaikan apa yang ia rasakan, jadi bisa dikatakan ini adalah moment langka yang harus dibiarkan terjadi.
•••
Paginya, Biru duduk di kursi meja makan dengan kaca mata yang bertengger dipuncak hidungnya.
"Tumben pake kacamata." Ucap Langit, karena Biru bukan penderita plus ataupun minus, tapi memang sering menggunakan kaca mata di kala ia ingin.
"Gapapa Bu, pengen aja." Gara yang baru saja keluar kamar menarik kaca mata sang Adik dan disaat itulah ia melihat mata bengkak Biru.
"Ciee habis nangis ya semalem? Kenapa? Dijahatin Samudera hm?" Gara kembali meletakkan kaca mata sang Adik ke tempatnya.
"Enggak kok."
![](https://img.wattpad.com/cover/247781675-288-k708912.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BElieVE [ATEEZ BXB]
Fanfiction"Bahkan mereka tetap pergi, setelah mereka berjanji." BACA DULU!!! •BXB •LOCAL NAME •OMEGAVERS