"Sudah selesai, 'kan?"
Suaranya berat, dingin, dan nyaris seperti pisau yang mengiris udara, tajam, tanpa rasa, pun datar tak memberi ruang untuk sang lawan bicara.
Ruangan itu terasa membeku dalam sepersekian detik. Bukan, bukan karena pendingin ruangan yang berhembus pelan menembus lapisan kulit mereka, melainkan karena aura yang dipancarkan oleh pria itu. Menyesakkan, nyaris tak berperasaan.
"Kau ... akan langsung pergi?"
Suara itu terdengar pelan, seperti ada keraguan yang tertahan dan juga ketakutan yang tak sepenuhnya bisa disembunyikan.
Di bawah pijakan sepatu hitamnya, lantai marmer itu memantulkan bayangan semu. Tidak ada jawaban, pertanyaannya mengambang di tengah bunyi nyaring detik jarum jam pada dinding.
Ruangan itu penuh dengan aroma rokok, alkohol, dan parfum mahal. Lampu-lampu temaram yang nyaris padam memancarkan cahaya kuning suram menyinari kasur yang berantakan, dengan seprai kusut dan bantal yang berserakan. Sementara tirai hitam tebal menggantung tanpa gerakan, menutupi jendela seperti tabir rahasia yang enggan tersingkapkan.
Tanpa menghadiahi tubuh lengket itu bahkan dengan secuil pun tatapannya, tangannya malah meraih dompet kulit bermerek Calvin Klein mahal di atas meja.
"Cukup, 'kan? Atau ... kau butuh lebih?" tanyanya begitu puluhan lembar dolar bernilai sekitar lima ratus ribu won melayang dari tangannya dan satu persatu lembar-lembar uang itu jatuh berhamburan menutupi tubuh wanita yang masih telanjang di atas ranjang itu tanpa rasa belas kasihan.
Wanita berambut panjang acak-acakan yang masih terlihat berusaha mengatur napasnya itu terpejam, merasa dipermalukan. Kulit pada bagian bongkahan pantatnya memerah, mencetak jelas telapak tangan lebar bekas tamparan gairah yang baru saja mereda. Sayangnya, pria itu sama sekali tak menganggapnya manusia. Ia jatuh cinta, tapi pria itu hanya melampiaskan nafsu semata.
"Mungkin ini terlalu banyak untuk apa yang kau berikan padaku malam ini."
Wanita itu beralih menatap dalam mata pria yang penuh dengan rahasia di depannya, ia rasakan seolah tatapannya mulai tenggelam ke dalam sebuah sumur gelap yang tak berdasar.
"Oh ayolah! Tidak bisakah kau tetap di sini bahkan satu detik sekali pun untuk menemaniku lebih lama lagi?"
Ia menyeringai tipis, sudut bibirnya terangkat dengan malas. Matanya menyipit sedikit, bukan karena senang, tetapi lebih seperti pemangsa yang baru saja menemukan mangsanya, terlalu mudah untuk ditebak. Lalu, tawanya pecah, terdengar sarat akan ejekan, menggema di antara dinding-dinding bisu dalam ruangan.
"Tak ada seorang pun yang mampu menghentikanku," ucapnya dengan suara rendah. Matanya menatap tajam, gelap seperti jurang tanpa dasar, yang penuh dengan keyakinan bahwa dunia ini mampu berjalan sesuai kehendaknya. "Ambil itu! Anggap saja hadiah dariku untukmu."
Kakinya melangkah, bersiap meninggalkan wanita yang bibirnya mulai terangkat naik kala menatap punggung lebarnya yang menjauh.
"Kau pikir, aku sehina itu? Hingga mau dengan lembaran kotormu ini?" Wanita itu terkekeh sembari memungut dalamannya. "Jangan kau pikir, hanya karena aku menjajakan tubuhku, kau bisa merasa lebih suci dariku, Jeon Jungkook. Kau tak lebih dari seekor binatang yang hanya tahu bagaimana cara melampiaskan nafsu!"
Mendengar itu, langkahnya terhenti sejenak. Hening menggantung di antara mereka sebelum pada akhirnya ia menoleh.
"Perempuan ular sepertimu memang pantas mendapatkan pria bernafsu binatang sepertiku. Bukankah begitu, Jalangku?"
Wanita itu tampak sangat kesal, hingga kakinya menghentak lantai dengan penuh emosi, menciptakan dentuman kecil yang menggema di ruangan. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, sementara napasnya mulai tak beraturan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Haphazard || LisKook
Fiksi Penggemar[1st story] - Tahap Reupload Genre : Fanfiction, Romance, Adult. Jeon Jungkook, salah satu anggota dari sebuah boy grup terkenal, BTS, bukanlah Jeon Jungkook ketika tidak ada kamera yang sedang menyorotnya. Image cute, baik, dan berhati lembut bak...