🍒ᴘʀᴏʟᴏɢ🍒

145 31 111
                                    

Ribas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ribas.

Kedua mataku ribas. Semakin kutahan semakin menggunung pula air yang terbendung di pelupuk mata. Bahkan sekarang bendungan itu perlahan-lahan mulai rubuh hingga menumpahkan sedikit demi sedikit butiran bening.

Selama 16 tahun, ini pertama kali aku merasa begitu hancur. Tepat, ketika Tuhan menyuguhkan pemandangan menyakitkan di depan sana. Rasanya dadaku seperti terhimpit batu besar. Awalnya sesak, tetapi semakin lama batu besar itu berhasil meremukkan seluruh hati yang sudah dipenuhi banyak lubang. Kini hatiku hanya tersisa serpihan-serpihan kecil yang memilukan.

Tanganku gemetar hingga membuat gelas kaca berisi minuman ini ikut bergetar. Riak-riak air di dalam gelas yang tumpah itu tampak sama menyedihkannya dengan diriku. Terlihat tidak berharga. Iya. Aku merasa tidak lagi berharga, lantas kulemparkan gelas kaca itu hingga mendarat di dekat kaki mereka.

Salahkah jika sekarang rasa benciku semakin besar untuknya?

Aku tidak menyesali perbuatanku. Kalau pun kaki mereka terluka, lukanya tidak akan sebanding dengan timbunan luka di dadaku. Benar. Aku tidak peduli karena aku tahu bahwa mereka juga tidak akan peduli padaku.

"Ri, apa yang kamu lakukan?!"

Suara bentakan pria itu membuatku tersentak. Tidak pernah kuduga reaksi pria itu akan sangat mengintimidasi. Bukan hanya dari kalimat yang dilontarkan, melainkan dari tatapan yang menyuruhku untuk diam atau enyah saja dari sana secepat mungkin.

Apakah dia tidak memahami perasaanku?

Bukankah dia adalah pria pertama dalam hidupku?

Namun, mengapa ... dia juga pria yang paling banyak menorehkan luka?

Kalbuku terus bergeming, sedangkan bibirku mengatup rapat-rapat. Kemudian, kucoba lihat ke sekitar, orang-orang yang ada di ruangan megah itu juga menghujaniku dengan tatapan penuh tanya. Bahkan ada pula yang melemparkan tatapan hina. Mungkin, karena aku satu-satunya tamu yang memakai blouse dan wedges murahan.

Ah, tatapan mereka membuatku frustrasi!

"Mau sampai kapan kamu hanya diam di sana? Cepatlah minta maaf karena kegaduhan yang kamu buat!"

"Gaduh? Hanya karena kegaduhan aku harus minta maaf?" tukasku sambil menatap benci pria itu.

Tidak sanggup kutatap dia lebih lama lagi. Rasanya kian sesak. Cepat-cepat aku berlari keluar dari ruangan yang dikelilingi banyak jurnalis itu. Sejenak aku merasa mereka sedang menatapku, tetapi tak kuhiraukan. Terserah mereka mau menatapku bagaimana! Sekali lagi, aku melakukan kebiasaan burukku yaitu lari dari masalah.

Begitu sampai di luar gedung, salah satu tali wedges-ku putus hingga tak bisa lagi digunakan. Ah, kenapa harus putus di saat begini?! Kemudian, kubiarkan saja kaki indahku telanjang, lantas kutinggalkan sepasang wedges yang sudah rusak  dan berjalan tanpa alas menyusuri trotoar jalan.

Terik matahari tiada menghentikan langkahku. Kilasan kenangan yang melintas di kepalaku membuatku terisak lagi. Bahkan ingatan saat melihat mereka bersama tadi benar-benar membuatku muak.

Aku ingin kabur sejauh mungkin. Bukan kabur untuk sementara saja, melainkan kabur untuk selamanya. Iya. Itu berarti aku tidak ingin kembali lagi untuk menghadapi kenyataan pahit. Kalian tahu? Sejak dahulu, hidupku memang tidak pernah semanis permen kapas. Bahkan biji kopi paling pekat pun kalah pahit rasanya.

Di persimpangan jalan, aku menatap sejenak lampu lalu lintas khusus pejalan kaki yang terus berganti-ganti warna dengan cepat dan tidak sesuai. Sepertinya rusak. Di sekitar ramai pula orang-orang yang hendak menyeberang. Kalian tahu apa yang kulakukan?

Dengan langkah gontai, aku menyeberangi jalan tanpa mengindahkan suara orang-orang yang mengimbau. Layaknya mayat hidup, aku melintas tanpa ragu. Apalagi suara klakson kendaraan yang melintas beserta umpatan dari pengemudinya kuabaikan begitu saja.

Aku benar-benar tidak peduli, jika harus kehilangan nyawa di sini. Aku sudah penat dengan semua luka yang tak kunjung membaik. Justru, lukanya tampak semakin basah dan menggunung.

Sekali lagi, suara klakson menyambutku riang. Membuat jantungku bertalu-talu tiada henti. Jangan ragu! Tabrak saja aku! Tabrak saja!

Tiba-tiba tubuhku terpental usai disambar mobil sedan hingga tergeletak di atas aspal yang berkilau karena sinar matahari. Kulirik ada cairan merah yang mengalir, mewarnai aspal. Kukira setelah aku menyerah begini, semuanya akan baik-baik saja. Namun, baru beberapa saat aku tergeletak dalam posisi masih setengah sadar, wajah wanita yang memiliki senyum hangat sedunia itu mengisi kepalaku. Menyelipkan rasa sesal di balik hatiku.

Maafkan aku, Ibu.

Aku ... sungguh lelah.

Tuhan, bolehkah aku ... istirahat dengan nyaman di sisi-Mu saja?

🏡
Memeluk Luka
25 November 2020

Memeluk LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang