Banyak kenyataan yang ngga pernah bisa diterima mental dan fisik kita. Termasuk Alana, kehilangan bukanlah hal yang mudah untuk dilupakan.
Kenangan kenangan itu selalu muncul, bahkan ketika Alana sendiri selalu mencoba untuk melupakannya.
Sebenarnya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
HARI yang membosankan, tak ada yang beda dengan hari ini. Semua tampak sama, hitam, abu abu, coklat, semua bercampur dalam melodi kenangan yang hingga detik ini masih menyisa perpisahan.
Bayang bayangnya masih hadir, mengisi setiap celah rindu yang mengebu karena kepergiannya. Dia harus pergi disaat aku mulai jatuh hati. Raganya tak akan pernah kembali, tapi jiwanya masih ada di sisi.
Cahaya mentari kini mulai menyelinap masuk ke kamar senyap Alana. Tak dihiraukan, gadis itu masih diam memeluk giant doll berwarna coklat yang ia punya.
Perasaanya masih berantakan, ia tak sanggup untuk mengenang sebuah perpisahan. Ini sangat berat, gadis itu belum sanggup untuk melepaskan semuanya.
Kata kata menyebalkan, senyum senyum manis yang menyambutnya di pagi hari kini sudah tak ada lagi. Dunianya kembali suram, sikap cerianya pun sudah tak ada lagi.
Ingin menangis, tapi air matanya telah mengering. Ingin mengulang tapi kenyataan tak memungkinkan. Jika dulu ia bisa memilih, maka Alana akan lebih memilih untuk tak mengenal pria itu daripada ia harus mengikhlaskan pria itu hari ini.
"Alana, bukain pintunya sayang. Kakak mau bicara" ucap seorang laki laki dengan lembut dari luar kamar.
Tapi sayang, kata kata serta ketukan pintu tak membuat Alana bangkit dari tempat tidurnya. Alana terus diam, mengenang kenangan kenangan indah yang telah ia lalui bersama mantan kekasihnya.
Lama, suara ketukan itu kini telah berhenti. Suasana kembali senyap, tapi Alana menyukainya. Dikeheningan kamar inilah Alana bisa menumpahkan seluruh emosinya. Marah, sedih, kecewa, semua bersatu dalam dada Alana.
Cklek!
Suara pintu dibuka membuat Alana mau tak mau mengarahkan pandangannya ke sudut ruangan.
Seorang pria jangkung dengan nampan di tangannya berjalan perlahan. Tatapan matanya sayu, banyak rasa khawatir yang tergambar jelas di raut muka lelaki itu. Dia adalah Gerald Devgantara, satu satunya aset keluarga yang ia punya saat ini.
Tanpa henti, Dev merayu Alana agar mau makan. Setidaknya untuk 5 suap. Karena semenajak 2 hari yang lalu perut Alana tak kemasukan makanan sama sekali. Hanya mungkin meminum susu, itupun hanya setengah gelas.
Dev sangat khawatir dengan kondisi adik tercintanya. Ia bisa merasakan bagaimana hancurnya Alana kala ditinggalkan oleh seseorang yang sangat dikasihinya. Terlebih lagi disaat saat seperti sekarang saat papah dan mamahnya sedang berada di Amerika untuk mengurus bisnis.