Banyak kenyataan yang ngga pernah bisa diterima mental dan fisik kita. Termasuk Alana, kehilangan bukanlah hal yang mudah untuk dilupakan.
Kenangan kenangan itu selalu muncul, bahkan ketika Alana sendiri selalu mencoba untuk melupakannya.
Sebenarnya...
Hari harinya berlalu sangat lambat, Alana kini perlahan mulai membaik. Meskipun halusinasi itu masih sering terjadi. Tapi setidaknya Alana mulai bisa mengendalikan emosi yang ada pada dirinya.
Dev juga terlihat lebih bahagia dari sebelumnya. Ia sangat bahagia akan kemajuan dari Alana. Ternyata obat depresi bukanlah seorang psikologis atapun obat obatan dari rumah sakit, melainkan sebuah kasih sayang. Ketulusan hati yang selalu ada menemani Alana.
Begitu juga dengan Chelsea, sahabat Alana. Setiap hari wanita itu selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi Alana, membawakannya jajanan sekolah kesukaan Alana dulu, dan meminjami Alana buku pelajaran juga catatan catatan dari guru di sekolah tadi.
Alana mulai merasa membaik, Alana sudah belajar menerima kenyataan bahwa Arkan memang sudah pergi dan tak akan pernah kembali. Tapi ia masih meyakini satu hal bahwa Arkan akan selalu menjaganya, akan selalu mengawasinya dimanapun dan kapanpun.
"Selamat siang tuan putri" sapa Chelsea memasuki kamar Alana.
"Iya" balas Alana tanpa mengalihkan pandangannya dari sebuah figura foto yang menampilkan kebersamaan antara ia dan Arkan.
Chelsea hanya tersenyum, ia tau bagaimana perasaan sahabatnya itu. Ia mengusap pelan punggung Alana, meyalurkan sebuah kekuatan yang tak terlihat namun nyata adanya.
"Ganteng ya Chel" puji Alana.
"Iya, kamu juga cantik" jawab Chelsea menatap ke arah Alana.
Kini Alana sadar, ia dikelilingi oleh orang orang baik. Seharusnya ia bersyukur, bukan malah terus terusan sedih seperti ini.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Alana menangis, ia kembali melihat Arkan di sampingnya. Ingin sekali Alana memeluk pria itu, menumpahkan segala keluh kesahnya. Tapi dia tak bisa digapai, Arkan seperti bayangan.
"Enggaaa! Arkannn!" Alana menjerit sekuat tenaga. Kenapa ia tak pernah bisa lupa akan Arkan? Kenapa bayangan itu selalu muncul disaat aku sudah berniat untuk benar benar melupakannya?
Mendengar jeritan dari Alana, Dev yang sedang mencuci motornya itu pun segera berlari ke kamar Alana.
"Alana, Alana!" panggil Dev menggedor gedor pintu kamarnya yang terkunci.
Suara isakan semakin terdengar jelas, tak beberapa lama kemudian bunyi benda yang pecah membuat perasaan Dev semakin tak menentu.
Dimana ia menaruh kunci cadangan kamar Alana? Kenapa ia bisa tiba tiba amnesia begini sih. Pikiran yang masih kacau, Dev masih terus mencari dimana keberadaan kunci itu.
"Nah" Dengan segera, ia berlali kembali ke arah kanar Alana untuk melihat apa yang tengah terjadi pada adik kesayangannya.
Pecahan vas ada dimana mana. Bantal, guling, selimut, boneka, semua sudah berantakan memenuhi kamar minimalis milik Alana. Beberapa tetes darah juga tampak mengenai gorden serta pakaian gadis itu.