Bab 1

5.6K 111 3
                                    

"Kepada siapa kamu menjual keperawanan kamu itu. Gadis tapi nggak bisa menjaga kehormatannya sendiri, bagaimana kamu akan menjaga kehormatanku nantinya," tambahnya semakin membuat sesak di dada.

~•°•~

Sekarang adalah malam pertama kami, harusnya kami masih bergumul di dalam selimut yang hangat. Menikmati madu cinta dalam pernikahan. Bergantian mengungkap rasa seperti yang dilakukan pengantin baru lainnya.

Namun yang terjadi bukan demikian, kami terjebak dalam kebisuan panjang di dalam mobil yang melaju ke arah rumahku.

Mas Cakra bersikeras untuk memulangkanku, tanpa sekalipun mau mendengarkan alasannya.

***

"Kamu bilang, kamu nggak pernah pacaran dik? Lalu kenapa bercak darahnya tidak ada!" Mas Cakra mencengkeram erat kedua bahuku, mata elang miliknya terasa menghujam manik mataku, dengan sorot penuh intimidasi.

Tubuhku bergetar, sebelumnya ia tidak pernah mempertanyakan apakah aku masih perawan atau tidak. Kupikir Tuhan telah menyembunyikan aibku, sehingga tidak aku katakan lantaran dia tidak pernah bertanya.

"A-aku memang sudah tidak perawan, Mas. Ta-tapi aku-aku memang ti-tidak pernah pacaran," ucapku dengan bibir bergetar. Rasa takut akan dipulangkan sudah menjarah hati yang baru saja mereguk manisnya jatuh cinta.

Tatapan Mas Cakra berubah nyalang, ia semakin membuatku merasa takut.

"Sial*n! Kenapa kamu tidak memberitahuku! Kalau kamu ini sudah tidak perawan! Barang bekas!" makinya syarat dengan kemarahan.

Tangannya yang yang tadi mencengkeram kedua bahuku, ia hempaskan kuat-kuat. Membuat tubuhku tersungkur

Aku mencoba menjelaskan, tapi Mas Cakra seolah menutup telinganya.

"Kepada siapa kamu menjual keperawanan kamu itu. Gadis tapi nggak bisa menjaga kehormatannya sendiri, bagaimana kamu akan menjaga kehormatanku nantinya," tambahnya semakin membuat sesak di dada.

Aku terisak mendengar semua makian Mas Cakra, kutarik selimut yang menutupi tubuhku, menggenggamnya kuat. Dengan harapan bisa meredam sakit yang datang tanpa diduga.

"Cepat pakai lagi pakaianmu, tidak sudi aku punya istri bekas sepertimu!" Mas Cakra melempar seongkok pakaian yang berada di lantai. Tepat mengenai wajahku.

"Tapi, Mas. Aku bisa jelaskan kenapa aku sudah tidak perawan. Aku bukan wanita yang menjajakan diri seperti yang kamu tuduhkan." Aku mencoba memegangi tangannya, berharap hatinya akan tersentuh dan mau mendengarkan penjelasanku.

"Hahh!" Mas Cakra mengibaskan tangannya kasar. "Aku tidak mau mendengar apapun dari mulut kotormu itu! Cepat pakai pakaianmu, aku antar kamu pulang!"

Deg!

Seperti sebuah parang yang menghujam Palung hatiku yang lembut, tanpa ampun dan belas kasihan. Seolah menikmati setiap aliran darah yang mengucur dari luka yang ia toreh.

"Mas ...." cicitku tidak berdaya. Namun ia tetap tak bergeming, malah dia keluar dengan membanting pintu.

Dadaku berdesir, tidak aku sangka pria yang begitu berwibawa seperti Mas Cakra, bisa langsung menghakimiku tanpa terlebih dulu bertanya.

Penghinaan yang aku terima tidak cukup dikamar saja, Mas Cakra mengulangi aksinya saat kami melewati ruang keluarga, dengan aku yang mengejarnya.

"Mas, tunggu!" seruku meminta dia berjalan pelan. Karena aku terseok-seok dengan gamis panjang yang aku pakai.

Dia berhenti, kemudian menatapku dengan rahangnya mengeras. Semua orang yang berada di ruang keluarga pun mengalihkan pandangan pada kami.

"Ada apa Cakra? Kenapa kamu kelihatan begitu marah? Ini adalah malam pertama kalian, bukankah seharusnya sekarang kalian ada di kamar?" tanya Ibu mertuaku. Wajahnya menyiratkan kebingungan.

"Dia itu sudah tidak perawan, Bu! Aku tidak sudi punya istri seperti dia." Mas Cakra berteriak sambil mengacung-acungkan telunjuknya ke arahku.

"Ya Tuhan, bagaimana bisa. Apakah dia itu sudah pernah berzina dengan kekasihnya?" timpal Elma, kakak iparku.

Beliau memang salah satu orang yang tidak suka aku menikah dengan Mas Cakra. Sekarang mungkin adalah masa yang ia tunggu-tunggu untuk memisahkan aku dengan Mas Cakra.

"Makanya, Mbak kan sudah bilang sama kamu, Le. Jangan mau nikah dengan wanita yang asal usulnya tidak jelas seperti dia. Mungkin saja dulu ibunya itu seorang penjual, makanya dia ikut-ikutan jejaknya," tambahnya lagi. Membuat suasana semakin memanas.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tangisku yang sudah reda kini pecah lagi.

"Iya benar Mbak. Aku bodoh karena tidak mendengar nasihat Mbak. Sekarang aku mau antar dia pulang ke rumahnya." Mas Cakra sambil menatapku tajam.

"Tapi, Mas. Aku bisa jelasin semuanya." Masih aku coba untuk mempertahankan rumah tangga yang sudah seperti telur diujung tanduk ini.

"Dengar," ucap Mas Cakra. "Aliya Rahmani Cakra Winata. Di hadapan seluruh keluargaku yang menjadi saksinya, aku, Cakra Winata, memberimu talak pertama."

Duarr!

Seperti disambar petir, hatiku hancur berkeping-keping. Bibirku kelu, tak kuasa mengucap barang sepatah. Aku pasrah saat dia menyeretku keluar rumah.

***

Bersambung ....

Tragedi Bercak DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang