Januari, 2019
Siapa coba yang tidak tahu Haidan Janardana? Semua orang pastinya tahu siapa dia.
Bukan terkenal karena wajah ganteng atau pribadinya yang keren, Haidan justru terkenal karena personality-nya yang gampang sekali menarik perhatian.
Di awal ketika aku melihat batang hidungnya saat penerimaan mahasiswa baru tahun lalu, aku sudah tahu kalau bocah itu akan menjadi gegedug yang disukai banyak orang. Mulai dari caranya bicara, caranya mendengarkan, dan caranya bercanda, sepertinya aneh saja kalau ada orang yang tidak suka dia.
Di masa kaderisasi jurusan, Haidan bahkan sudah sangat akrab dengan banyak kakak tingkat. Dia mudah berbaur dan mendapatkan teman. Semua teman angkatannya, pasti pernah berinteraksi dengan dia.
Suatu hari, temanku bertanya pada Haidan, apa dia tidak pernah merasa canggung dengan orang lain, dan dia bilang, "Nggak tuh, Kang. Aku mah anaknya fleksibel sama siapa aja hayu. Sok tanyain aja, ada gak barudak angkatan 18 yang nggak pernah ngobrol sama aku? Pasti nggak ada, lah!"
Saking fleksibel yang kata dia itu, Haidan kadang jatuhnya jadi sok akrab. Dengan siapa saja, tanpa memandang usia, dia menganggap orang sekitarnya teman.
Aku masih ingat, kali pertama aku dan Haidan saling mengobrol yang literally cuman berdua saja adalah ketika mumas 2019. Angkatanku harus demisioner dari kepengurusan himpunan, dan digantikan angkatan bawah.
Haidan yang hari itu datang sebagai perwakilan fraksi dari angkatan 2018, tiba-tiba saja menyapaku yang tengah duduk sendirian di depan gedung C, seakan kami sudah sering mengobrol saja, padahal selama ini aku dan dia hanya pernah beberapa kali bertukar kata—dan itu pun ketika sedang banyak orang di sekitar kami.
Hari itu, hanya ada aku sendirian, dan Haidan datang menghampiriku.
"Teh Gigi, mau gak?" dia menawariku cimol di plastik kemudian memanggilku dengan nama panggilan.
Panggilan Gigi biasanya hanya dipakai teman-teman yang sudah akrab. Sedangkan adik tingkat biasa memanggil nama depanku, Gistara atau Gista. Ini pertama kalinya ada adik tingkat yang seberani itu memanggilku Gigi, padahal intensitas mengobrol kami saja bisa dihitung jari.
"Nggak." jawabku singkat sambil mematikan layar ponsel kemudian memperhatikan pergerakan Haidan yang tiba-tiba duduk di sebelahku.
"Yah, padahal enak." balasnya tidak penting.
"Masuk sana, ngapain duduk di sini?"
"Nggak boleh?" tanyanya sambil sibuk mengunyah, "Teteh juga masih duduk di sini, tuh."
"Nanti aku mah masuknya."
"Ya udah aku juga nanti." Dari sikapnya bahkan dia tidak terlihat peduli sama sekali dengan ucapanku, "Teh Gigi, suka denger siaran radio kampus gak? Aku ngisi hari Senin sama Kamis, jam 4 sore. Dengerin atuh, boleh kirim-kirim salam sama request lagu juga! Siapa tahu mau kirim-kirim salam sama gebetan, atau mau request lagu sedih, soalnya wajah Teteh suka kayak sedih wae, sendu gitu. Kenapa atuh, Teh, cerita sini sama aku—"
Celotehan sok asik Haidan yang terdengar menyebalkan kala itu, entah mengapa membawa aku pada momen-momen berikutnya di mana aku terus-terusan memikirkannya. Suaranya terngiang-ngiang di dalam kepala, bahkan aku diam-diam mendengarkan sesi siaran radio kampus hari Senin dan Kamis pukul 4 sore hanya untuk mendengar suara Haidan.
Dan satu hal yang membuatku menarik kesimpulan di kemudian hari. Bahwa, Haidan punya suara yang merdu.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Hari di Bulan Juni
Short Story(COMPLETED) "Kemarin ngapain nebeng Bang Eja bukannya bareng aku?" Ada satu hari di mana aku tidak ingin bertemu lagi dengan bulan Juni. Namun, ada hari lainnya di mana bulan Juni rupanya tidak lagi seburuk tahun lalu. - 2020 © a short story by. ne...