Agustus 2019
Sudah lewat 20 hari sejak aku melakukan kuliah kerja nyata di suatu wilayah terpencil di kota Subang.
Letaknya hanya satu jam menuju pantai, tapi desa yang aku tinggali benar-benar jauh dari kota. Melewati jalan terjal, berliku, menanjak dan curam.
Aku rasanya menderita di sini, tapi tidak ingin mengeluh mengingat bukan hanya aku yang merasa seperti ini.
Subang adalah kota yang panas, dan sekarang musim kemarau. Tidak ada hujan yang datang sejak dua bulan terakhir, dan aku merasa seperti sedang simulasi neraka.
Aku bahkan sampai berpikir kalau aku terkena dehidrasi, sampai berhalusinasi kalau yang di depanku itu fatamorgana karena tiba-tiba saja melihat sosok tak asing datang mengendarai Scoopy birunya dan memarkirkan motornya tepat di depan poskoku.
Teman-teman KKN-ku saling berbisik, bertanya-tanya keheranan siapa sosok yang tiba-tiba datang tidak diundang itu. Tiba-tiba saja menyengir sambil membuka pengait helmnya.
"Haidan?" tanyaku tidak begitu yakin, tapi lambaian tangannya setelah menyimpan helm di spion membuat aku yang tadinya sedang bermalas-malasan di teras posko buru-buru bangkit dan memakai sandalku, "Kamu ngapain di sini???"
Aku tidak habis pikir. Bahkan setelah hampir dua bulan sejak aku membalas chat cowok itu, memberitahu lokasi tempat aku KKN, Haidan tidak pernah sekalipun kembali bertukar pesan denganku.
Dia hanya membiarkan chat balasanku yang dia tinggalkan terbaca, tanpa membalasnya.
Setelah 2 bulan lamanya kami tidak pernah berkomunikasi sedikitpun, tiba-tiba saja dia muncul di hadapanku, dengan motor Scoopy birunya di depan posko tempat aku KKN.
Aku rasa tidak ada yang lebih aneh dari ini.
"Aku tadi mampir ke poskonya Bang Eja, terus kata Bang Eja, Teh Gigi juga poskonya nggak begitu jauh dari posko dia. Ya udah, aku mampir deh, ke sini. Nih, aku bawain es kelapa, tadi nemu Mang penjualnya di bawah."
Haidan menyodorkan dua kresek es kelapa muda yang sengaja dia bawa untuk aku dan teman-temanku.
Pada akhirnya aku memperkenalkan Haidan pada mereka. Seperti yang sudah aku duga, Haidan bisa akrab dengan mereka hanya dalam waktu 10 menit saja. Mulai bertukar canda dan gurau seakan sudah lama kenal.
Aku hanya berakhir duduk agak menjauh dari Haidan dan teman-temanku, sambil menyeruput kuat es kepala muda di plastik yang tadi dibawakan Haidan.
Dalam keadaan panas seperti ini, aku bahkan tidak punya tenaga untuk ikut bercakap-cakap.
"Bang Eja nyuruh bawain sarung ganti masa, jauh-jauh aku dari Sumedang ke sini cuman buat bawain sarung ganti, bayangin!!!" seru Haidan heboh sambil tiba-tiba beringsut duduk di sebelahku.
Entah bagaimana caranya dia bisa keluar dari lingkaran konversasi beberapa saat lalu, dan tiba-tiba mengalihkan perhatiannya padaku.
Oh, dan ngomong-ngomong, Eja itu teman seangkatanku. Dia satu kostan dengan Haidan, mungkin itu yang membuat Eja menyuruh Haidan untuk datang—meskipun agak tidak masuk akal juga perihal sarung saja harus diantar sampai Subang.
"Kenapa mau?" tanyaku singkat setelah berhasil menyedot habis es kelapa muda di plastik.
"Soalnya baliknya bisa ke pantai!" Haidan memasang ekspresi seakan tidak sabar, "Hayu Teh, ke pantai ih! Udah lama aku nggak refreshing. Liburan dua bulan teh bosen pisan euy, cuman tidur-makan-tidur-makan-boker. Gitu weh tiap hari teh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Hari di Bulan Juni
Cerita Pendek(COMPLETED) "Kemarin ngapain nebeng Bang Eja bukannya bareng aku?" Ada satu hari di mana aku tidak ingin bertemu lagi dengan bulan Juni. Namun, ada hari lainnya di mana bulan Juni rupanya tidak lagi seburuk tahun lalu. - 2020 © a short story by. ne...