Hari ini malam ketujuh setelah kematian Eyang puteri. Kami masih di Kebumen. Meski rumah sudah tampak reot tapi kami bersyukur masih bisa ditinggali untuk sekedar berlindung dari panas dan hujan.
Dan untuk selamatan Eyang puteri, kami benar-benar tak mengeluarkan biaya sedikitpun. Semua dilakukan atas kebaikan warga sekitar dan keluarga kami. Bahkan teman bapak selama hidup benar-benar ringan tangan dan mau membantu kami.
Setelah acara tahlilan selesai aku masuk ke kamar yang dahulu di tempati kedua orang tuaku. Aku sengaja membuka lemari, laci, foto-foto serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kedua orang tuaku. Hingga kutemukan tumpukan surat yang setelah dilihat adalah surat antara ibuku dengan sahabatnya.
Rupanya sahabatnya bernama Aisyah dan mereka sempat mondok bersama dulu. Dulu ibuku pernah mondok. Bahkan dulu memintaku untuk mondok saat aku akan masuk ke SMP namun sayang beliau meninggal jadi keinginannya belum kesampaian.
Kubaca lembar demi lembar surat mereka berdua. Entah mengapa sedikit mengobati kerinduanku pada ibu. Hingga ada sebuah surat yang membuatku termenung cukup lama.
Fatimah, aku sudah menerima suratmu. Kalau kamu memang mau mondokin anakmu sini aja ketempatku. Biar persahabatan kita tetap langgeng dan terjaga dan sering bisa ketemu. Jadi kita bisa cerita-cerita dan mengenang masa mondok kita dulu. Aku akan selalu menunggu kamu dan puterimu.
Salam sayang Aisyah.
Kulihat foto dua orang remaja usia SMA yang sama-sama cantik. Salah satunya adalah ibuku. Aku seperti melihat diriku sendiri. Ya, aku sangat mirip ibuku dulu.
🍁🍁🍁🍁🍁
"Kamu kenapa? kok murung? Masih inget sama Eyang puteri?"
"Aku masih sedih Ca, tapi sebenarnya lebih ke arah lega. Setidaknya Eyang sudah tak akan merasakan sakit lagi. Dan melihat wajah bahagianya sebelum meninggal aku tahu memang sudah waktunya Eyang meninggalkan kita. Jadi ya sudah kita harus ikhlas khan?"
"Iya."
Hening
"Ca..."
"Hem.."
"Aku diterima."
Mataku membulat.
"Benarkah? Yeeee... Selamat ya adikku, sahabatku temen gelutku. Akhirnya kamu bisa S2 juga."
Kulihat Hasan tersenyum tipis dan lalu tampak sedih.
Aku menepuk bahunya, "kamu gak usah mikirin aku. Kamu pikir aku siapa? Bawang putih? Sory ya. Jadi kamu gak usah khawatir sama aku. Aku sekarang mau mondok. Mau melaksanakan keinginan ibu sebelum beliau meninggal."
"Kamu itu nenek lampir."
"Kalau aku nenek lampir, kamu itu gerandong."
Hahaha. Kami tergelak bersama.
"Oh iya minggu depan kita jadi wisuda. Aku sudah daftar untuk kita berdua. Kita bakalan ikutan. Oke."
"Sip."
Kami berdua lulus 3,5 tahun dengan IPK cumlaude. Aslinya aku juga bisa ikut beasiswa S2 hanya saja aku memutuskan menjalankan amanah ibuku untuk mondok. Kami akan ikut wisuda bareng teman seangkatan kami akhirnya. Aku dan Hasan memang sudah berjanji dengan teman kami masing-masing bahwa walaupun kami lulus gasik tapi kami akan ikut wisuda bareng dengan teman seangkatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
4. Pelabuhan Terakhir (Novel Dan Ebook)
De TodoCahaya Mustika atau dipanggil caca adalah gadis yatim piatu yang tinggal bersama liliknya(om), adik dari mendiang ayahnya. Sejak kecil dia harus mengalah kepada anak-anak liliknya. Merasa asing di keluarganya sendiri. Hingga datang sebuah lamaran da...