7. Efek Salah Ndusel

1.3K 136 7
                                    

Aku terbangun saat mendengar suara orang mengaji. Setelah membereskan tempat tidur aku segera keluar kamar untuk mandi.

Saat membuka pintu kulihat kedua rekanku melongo kearahku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Mbak Caca bisa tidur nyenyak?" tanya mbak Syarifah.

"Nyenyak banget. Kenapa emang nya?"

"Gak ada yang gangguin?" sekarang mbak Nurul yang bertanya.

"Hahaha. Gak ada tuh." aku langsung berlalu menuju kamar mandi.

Sedangkan kedua rekanku masih nampak tak percaya.

🍀🍀🍀🍀🍀

Aku tengah membantu Nurul dan Ipeh alias Syarifah memasak di dapur ndalem. Mereka menolak di panggil mbak karena usia mereka dibawahku. Ipeh berusia 21 tahun sedangkan Nurul 18 tahun dan baru lulus SMA.

Kata Ipeh, dapur ndalem dan dapur khusus santri terpisah. Dapur santri khusus digunakan oleh para santri. Di sini modelnya ada jadwal masak tiap kamar. Kamar mana yang dapat jatah piket masak, maka tugas penghuni kamar yang berjumlah sepuluh orang itu untuk menyiapkan makanan selama satu hari ini. Sedangkan dapur ndalem dikhususkan untuk keluarga kyai.

Aku tengah menghidangkan makanan di atas meja makan. Sop jamur, tumis kangkung, tempe goreng, ayam goreng dan sambal terasi. Perfect. Oh jangan lupa lalapan sama petenya.

"Wah.... Ini malah ngerepotin Caca." umi Aisyah datang masih mengenakan mukena.

"Gak kok umi. Caca malah seneng bisa bantu-bantu."

"Ya sudah, sini makan bareng sama umi, abah sama Azzam sekalian."

"Mboten usah umi. Saya gak enak. Saya makan sama Nurul dan Ipeh saja."

"Gak papa sini duduk. Umi masih kangen sama kamu."

Tak lama datanglah sosok lelaki paruh baya yang penuh karisma. Duh kalau masih muda pasti tampan mempesona ini. Udah tua aja aku klepek-klepek. Hehehe.

"Abah... Baru pulang bah?" umi menyambut tangan suaminya dan si abah mengecup kening umi Aisyah. Uwuwu... Aku kok iri ya melihat pasangan tua tapi berjiwa muda ini.

"Ini Caca anaknya Fatimah sama Ridwan ya?" tanya abah Ilyas.

"Nggih abah." jawabku.

"Sini duduk sama abah dan umi. Kita makan bareng-bareng. Umi.. Azzam kok belum kelihatan?"

"Masih tidur kayaknya bah? Tadi malam lembur kayaknya. Umi itu udah senewen udah gregetan pengin bongkar tuh kamarnya. Kamar kok kayak kapal pecah." curhat umi.

"Mungkin dia masih ada kerjaan Umi. Lagian khan juga ngurusi tesisnya. Mungkin lagi ada job juga, mau bikin rumah, mushola, jembatan, hotel atau apalah." terang abah.

"Hahaha. Padahal umi ngarepnya Azzam segera bikin bayi biar kita bisa cepet punya cucu." kelakar umi.

"Hahaha. Kamu yakin mau ngarepin Azzam cepet nikah? Kayaknya daripada Umi ngarepin Azzam mending kita bikin sendiri aja Um?" sahut abah sambil menarik turunkan alisnya.

Sontak umi memukul lengan abah, "abah mesum ih. Gak malu ada Caca apa?" pipi umi memerah karena malu.

"Gapapa kok umi, khan Caca serasa lagi nonton Drakor pas adegan suami istri yang bahagia. Hehehe."

"Hahahaha... Kamu memang anaknya Fatimah. Pantes uminya Azzam langsung lengket sama kamu." celetuk abah.

Tak lama seorang lelaki memakai kaos oblong hitam dan bersarung hitam datang ke meja makan. Sepertinya dia masih mengantuk dan tak menyadari sekelilingnya.

Cara jalannya seperti seorang yang mengalami tidur sambil berjalan. Kami bertiga terdiam dan sibuk mengamati tingkah lakunya.

Dia duduk didekatku dan.... What mataku melotot. Aku syok... Dia ndusel ke ketekku? Serius ini? Aduh jantungku malah jadi disco.

Dua orang tua itu pun tak kalah syoknya denganku.

"Zam..."

"Dalem umi."

"Lepas."

"Pewe umi, kayak gak biasanya Azzam kayak gini." rajuknya manja.

"Zam." kali ini abah yang bersuara tegas.

"Nopo bah?"

"Buka matamu, lihat kamu itu lagi ngapain. Bukan mahram." bentaknya.

"Mahram abah? Khan ndusel sama umi."

"Azzam!"

"Ckckck... Ya kalau bukan umi berarti calon istri Azzam." pria itu berkata sambil mengangkat tubuhnya dariku kemudian matanya melebar saat menyadari keberadaanku.

"Kamu?... Kamu siapa?" bentaknya.

"Caca." aku menjawab sambil meringis.

Dia memandangku kemudian menoleh kesekelilingnya dan mendapati kedua orangtuanya berada di seberang meja. Umi nampak tersenyum geli sedangkan raut muka abah memerah campuran antara kesal, marah dan menahan tawa.

Aku... Oh jangan tanyakan bagaimana denganku. Lelaki paling dekat denganku hanya Hasan dan dia tak pernah ndusel-ndusel manja kepadaku.

Karena terlalu malu aku memilih berpamitan kepada abah dan umi. Berjalan pelan, dan ketika sampai dapur aku langsung melesat menuju kamarku. Aish... Kok aku jadi keki setengah mati sih. Mana itu cowok walau belum mandi tapi wangi lagi. Oh tidakkkkkk...

4. Pelabuhan Terakhir (Novel Dan Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang