Happy reading!
Selamat endingggg!
Memang pada dasarnya manusia diciptakan dengan berbagai skenario yang berbeda. Ada yang mengalami kesedihan dahulu, kesenangan dahulu, atau keduanya bersamaan.
Sesuai apa yang tertulis. Manusia menjalankan kehidupannya sesuai alur yang telah dipersiapkan.
Untuk mencapai sebuah kebahagiaan, maka mereka mesti berusaha. Menghilangkan keluh kesah kesedihan, hingga mencapai buah manis kebahagian untuknya kelak.
Alangkah bahagianya hidup berbahagia. Meski pada kenyataannya, akan selalu datang sebuah masalah yang membuat kita bersedih.
Namun tak apa, selagi kita kuat menjalani segala cobaan. Maka itupun tak masalah.
Beberapa kali Jelita berucap syukur. Sudah dua bulan lamanya ia melewati hari berbahagia. Keluarga yang utuh, teman yang baik, dan kekasih setia. Jelita teramat bersyukur atasnya.
Kejadian demi kejadian yang menimpanya hadir bukan tanpa alasan. Melainkan dengan alasan sebagai ujian hidupnya. Dan kini Jelita begitu sadari setelahnya.
"Semua yang aku lewati begitu bermakna. Kesedihan lalu kebahagiaan yang tiada duanya," tuturnya seraya menengadah ke atas langit biru di siang yang hampir sore ini.
"Gak nyangka, ya, kesedihan selesai begitu saja."
"Kata siapa selesai begitu saja?" Jelita menoleh pada seseorang yang mengucapkn kalimat tadi.
"Setelah lo lewati berbagai cobaan, dan sekarang bilang begitu saja?" papar Rey, yang sedari tadi berada di sampingnya.
"Emang gak kerasa aja, kan?" sahut Jelita.
"Tapi gak begitu saja juga," timpal Rey lagi.
Jelita mengerutkan dahinya. "Maksudnya?" tanyanya tak paham.
Rey memosisikan diri menghadap Jelita sebelum ia kembali mengeluarkan suaranya.
"Ada proses yang begitu rinci. Dan, proses itu begitu bermakna dari pada hasilnya saat ini," tutur Rey. "Saat lo sabar, tabah, dan kuat. Itulah poin yang paling bermakna sebenarnya. Karena sebuah cobaan itu hadir untuk menguji seseorang. Bukan untuk menunjukkan hasilnya. Hasil bisa dimanipulasi, tetapi prosesnya tidak."
Jelita mengangguk-angguk mengerti sekarang. Gadis itu tersenyum mendengar penuturan kekasihnya yang terlewar bijaksana itu.
"Hasil yang terbaik itu bonus, dan prosesnya itu nilai secara realita," lanjut Rey menerangkan.
Dan, Jelita kembali mengangguk-angguk.
"Ngangguk terus, ngerti gak?" tanya Rey.
"Ngerti." Jelita memamerkan cengirannya.
"Bagus kalau ngerti. Kalau nggak bloon tuh," timpal Rey.
Jelita mengerucutkan bibirnya sebal. "Tajam bener tuh omongannya. Gak pake saringan dulu," desis Jelita.
"Kenyataan," jawab Rey acuh.
"Ya, tapi-kan sekali-kali bahagiain pacar sama omongan yang manusiawi dikit kek," pekik Jelita agak lantang.
"Kurang manusiawi apa lagi coba?" sahut Rey semakin gentar membuat Jelita kesal.
Jelita bangkit dari duduknya. "Tau ah, males banget!"
"Mau ke mana main berdiri aja?" lirik Rey.
"Mau pulang," jawab Jelita cuek.
Rey mengedikkan bahunya acuh. "Yaudah, sana."
"KAKAK! ANTERIN LAH, GIMANA SIH?!" teriak Jelita keras. Untunglah, suasana danau yang mereka singgahi kali ini tak terlalu ramai.
"Kan, gak ngomong tadi." Rey bangit dari duduknya seraya menahan tawa karena melihat raut Jelita yang semakin kesal.
"Seharusnya tuh peka napa!" Jelita memukul kecil lengan kekar Rey. "Kapan sih mau peka jadi orang, hm?"
"Kurang peka apa?" Rey malah bertanya.
"Ya iyalah! Masih nanya aja," cetus Jelita.
"Sebenernya peka, cuma gak nunjukin aja," kilah Rey.
Jelita mengerutkan dahinya kembali. "Mana ada, ih."
"Ada, kan gue!" tunjuknya pada diri sendiri.
"Ih apaan dah! Males banget," gumam Jelita.
"Gue yang selalu sayang lo, kan?" Rey menaik turunkan alisnya berniat menggoda Jelita. Namun naas, Jelita malah menabok pipinya meski pelan.
"GAJE BANGET! PERASAAN TADI LAGI NGOMONGIN SI PEKA DAH, NAPA JADI NYASAR KE SITU?!" teriak Jelita. Sebenarnya gadis itu malu sekali digoda seperti itu oleh Rey.
"Jahat banget sih pacar, main tabok aja." Rey menyentuh pipinya yang ditabok.
"LAGIAN, JADI ORANG GAK USAH GAJE, NAPA?!" pekik Jelita kembali lantang, gadis itupun berlalu lebih dulu meninggalkan Rey seorang diri.
"Pms, ya? Sampe marah-marah gitu?" Rey menyusul langkah Jelita.
"IYA, NAPA? KEBERATAN?" lantangnya lagi.
Rey sampai terkaget mendengarnya. Wajar saja hari ini gadis itu begitu sensitif, toh tamu rutinnya sedang berkunjung ternyata.
"Nggak, nggak keberatan silakan aja," kilah Rey.
"KENAPA NGGAK? KAMU GAK PEDULI SAMA AKU, INI TUH SAKIT BANGET SEBENERNYA!"
"Hah? Jadi dari tadi itu sakit?" beo Rey.
"TAU AH, PAKE NANYA LAGI!"
'Hah? Makin salah aja.' batin Rey.
"Beliin kiranti, ya. Ini sakit tahu," lirih Jelita, kali ini suaranya melembut.
Merasa tak tega, pada akhirnya Rey mengangguk. "Iya, kita langsung ke mini market sekarang, ya."
Jelita mengangguk kecil. "Hm."
Dan, akhirnya Rey bisa menghela nafasnya pelan. Ia merasa bersyukur karena sensitif pacarnya itu sudah mereda.
Rey melirik Jelita yang berada di sisinya. Gadis manis yang menjadi pacarnya. Rey berharap dialah yang pertama juga terakhir untuknya.
Rey sangat beruntung memilikinya. Setelah ribuan cobaan yang telah dilewati, bahkan gadisnya tetap menjadi wanita baik dan murah hati. Sehingga membuat Rey semakin jatuh hati disetiap detiknya.
Alangkah sederhananya dalam mencintai.
🍁🍁🍁
END
Selamattttttt!
Sudah end, nih!
Makasii banyak yg udh baca dari awal sampe akhir iniiiiiii.
Sungguh warbiazahh binggo.
Yang dah setia makasiiiii.
Gimana, nih dah end?
Ini cerita pertama yg aku publish d sini, rasanya tuh kek gmna gitu pas mau tamatin. Kek terharuuuu ckckckck.
Pokoknya aku seneng pake bngett bnrr!
.
.
Boleh, baca ceritaku yg lain, ya!
Support juga!
Tanpa kalian aku apa sih?
Segitu ya, dahhh.
See u😚
KAMU SEDANG MEMBACA
JELITA [Revisi]
Подростковая литература"Kata Oma, cantik itu bukan cuma di paras aja, tapi hati juga. Percuma punya paras cantik, tapi hatinya gak cantik. Gak ada gunanya." ~Jelita Anindya. B~ Mereka bilang namanya tidak sesuai dengan penampilannya. Nama Jelita Anindya hanya cocok unt...