Part 12

459 61 7
                                    


.
.
.

HANCUR

Itulah yang menggambarkan perasaan gue saat ini.

Semuanya benar-benar sudah berantakan.

Harusnya, dari awal gue gak perlu suka apalagi nyimpen harapan sama Ranu.

Harusnya, dari awal gue percaya dan dengerin omongan Jenny kalo gue itu emang gak pantes buat Ranu.

Harusnya, gue berusaha lupain Ranu sejak sadar sama perasaan ini.

Tapi, bukan penyesalan namanya jika tidak datang diakhir, kan?

Ranu cowok yang tampan, kaya, dan cerdas. Dia masuk dalam kategori good boy yang tentu saja diidamkan banyak gadis.

Tidak mungkin, tidak mungkin rasanya cowok sekelas Ranu tidak memiliki kekasih. Bukannya malah terkesan aneh jika cowok tampan nan populer masih jomblo? Di antara banyaknya gadis yang mendambakan dia, pasti akan selalu ada minimal satu gadis yang dia dambakan juga untuk menemani hari-harinya.

Kenapa? Kenapa gue gak mau menyadari hal itu? Kenapa mata gue selalu tertutup buat lihat fakta itu? KENAPA!

Kenapa sih, kenapa gue harus suka sama dia, kalo ujungnya bakal ngerasain sakit kayak gini?

Kenapa kisah remaja gue gak bisa semanis kayak kisah orang lain?

Kenapa gue gak pernah bisa dapetin cowok yang gue suka?

Apa karena gue gak cantik? Hei, bukannya mereka bilang kalo cantik itu relatif? Ah, persetan dengan teori itu!

Sekarang, gue harus apa? Apa bisa gue ngerasa baik-baik saja saat ketemu Ranu di sekolah nanti?

Belum lagi harus ketemu Adsila di kelas. Sumpah, gue kecewa banget sama dia. Gue bener-bener ngerasa dikhianati.

🍃

Author POV
.
.
.

Pagi itu hari Minggu. Lika masih terperangkap dalam zona patah hatinya.

Dia jadi sangat pendiam, pemurung, dan hampir gila.

Ayah ibunya khawatir dan selalu bertanya kenapa dia, tapi dia selalu menjawab dengan berbagai kebohongan seperti;

"Nonton drama Korea, Bu, jadi kebawa baper."

"Enggak papa, cuma terbawa suasana aja abis liat kondisi di Palestina."

"Bias Lika punya pacar, Dad, jadi nyesek."

Dan akhirnya, alasan-alasan itu malah menimbulkan ceramah panjang kali lebar dari kedua orang tuanya;

"Makanya jangan kebanyakan nonton begituan, habisin kuota aja!"

"Mending belajar, belajar sana."

"Lihat doang, doain sekalian dong biar keadaan di sana baik. Banyakin nabung biar bisa ikut nyumbang ke sana, walaupun dikit tapi kalo kita ikhlas insyaallah bakal dapat banyak kebaikan. Gak cuma upload-upload ke medsos, kasih tulisan sedih biar terkesan jadi orang paling baik sedunia, apaan!"

"Belajar Lika, belajar. Ya ampun... siapa lagi bias? Muka kayak adonan tepung begitu kamu banggakan!"

Dan ketika biasnya dihina oleh sang ibu, dia tidak bisa tinggal diam lagi.

"Ibu! Mereka ganteng, bahkan lebih ganteng dari Bapak!"

Segera, Lika mendapatkan pelototan tajam dari sang ayah.

"Bu, anak kita perlu di rukyah," bisik ayah pada ibu sambil menatap ngeri anaknya kala itu.

Ibu hanya mengangguk dengan tatapan prihatin.

Dan benar saja; besoknya, saat Lika pulang sekolah dengan wajah lesu, dia dikejutkan dengan munculnya seorang pria tua berjubah putih tengah duduk bercengkrama di ruang tengah bersama ayah dan ibunya.

"Itu Pak anak saya. Lihat, baru pulang sekolah saja main nyelonong gitu saja, gak mengucapkan salam apalagi mencium tangan orang tua, saya benar-benar lelah Pak sebagai ibunya." keluh sang ibu pada pria tua itu saat Lika berjalan masuk ke rumahnya.

"Sini Lika," panggil ayahnya.

Lika menurut dengan ekspresi seperti orang linglung.

Dia duduk di samping ayahnya. "Ada apa, Pak?" tanya Lika setengah berbisik pada ayahnya.

"Diam." ketus sang ayah.

"Jadi kapan mau mulainya, Pak?" tanya ayah pada pria berjubah putih itu.

Pria itu berdeham, memandang Lika dengan tatapan sulit diartikan. "Apa airnya sudah disiapkan?" tanya pria itu yang kini beralih menatap ayah Lika.

"Sudah Pak, sebentar saya ambil dulu," ujar ibu dengan tergesa pergi ke dapur.

Air? Air apa? tanya suara hati Lika.

"Ini, Pak," ibu meletakan gelas besar nan penuh berisi air putih di atas meja. Kalian bisa menyebutnya teko.

Lika hanya bisa diam dengan dahi berkerut.

Pria itu membacakan doa-doa pada air tadi selama beberapa menit.

Ayah dan ibu ikut menunduk dengan bibir bergumam ikut mengamini doa pria tua itu.

Tidak ada suara apapun yang terdengar selain lantunan doanya. Keheningan ini membuat Lika tercekat, cicak di dinding sekarat dan roh-roh jahat di rumah kabur jika tidak segera dihentikan.

"Sudah. Ini bisa langsung diminum atau dituangkan ke bak mandi jika ingin mandi. Jangan lupa, berserah diri pada Allah, perkuat iman, lakukan segala hal sesuai dengan sunah Nabi. Maka insyaallah, adek akan terbebas dari berbagai macam gangguan mahluk gaib." jelas pria berjenggot panjang itu membuat bulu kuduk Lika merinding seketika.

"Tuh, dengerin Lika," bisik ayah.

Lika baru berani bertanya saat pria berjubah putih itu sudah pergi, ketika dia dipaksa harus meminum air yang telah didoakan itu.

"Pak, Bu, aku gak kesurupan!" erang Lika.

"Ada apa sih sama kalian?"

"Minum saja, gak usah banyak protes!" perintah ibu dengan nada sedikit menyentak. Ia terus menyodorkan gelas itu pada Lika.

"Ya tapi aku gak papa, aku gak papa, Bu!" Lika terus menggeleng dan berteriak.

Ayah mendesah. "Lika, masih untung kami gak minta Pak Abdul buat rukyah kamu secara langsung, karena kami gak mau lihat kamu teriak-teriak. Maka sudah, gak usah banyak tanya, minum saja."

"Bapak, Lika baik-baik aja," rengek Lika enggan meminum air itu.

"Pak, pasti yang sedang bicara ini setannya," ucap ibu sambil menatap Lika penuh kewaspadaan.

Lika semakin merengek dengan kencang. "Bapak, Ibu sama aja! Gak ada yang ngertiin Lika!"

Lika berlari menuju kamarnya dengan air mata berlinang.

Always Insecure✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang