Part 1

2.6K 130 38
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم





.
.
.

Bagaimana rasanya memiliki sahabat yang wajahnya mirip bidadari, sedangkan wajah lo biasa aja?

Insecure, itu pasti. Gue selalu merasakannya hampir setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit!

Jujur, punya sahabat yang lebih cantik itu gak enak. Sering terlintas dalam benak bahwa gue pengen menjauh dari dia dan cari teman yang lebih setara, tapi... sulit.

Sulit buat menjauh karena kita bersahabat sudah lama, rumah berdekatan, bahkan satu kelas!

Namanya Adsila, wajahnya cantik dan orangnya sangat baik. Itu juga salah satu alasan kenapa gue ngerasa sulit buat jauhin dia.

Dia cantik, sudah pasti. Kulitnya putih, kakinya jenjang, tubuhnya ramping, rambutnya panjang dan halus, pipi tirus, hidung mancung, mata tajam, juga bulu mata lentik.

Selain cantik wajahnya, hatinya juga sangat cantik. Gak pernah ragu untuk berbuat kebaikan, gak pernah pilih-pilih teman, dan sangat ramah.

At least, otaknya juga sangat cerdas. Mudah memahami apa yang diterangkan guru saat pelajaran berlangsung, pandai berbahasa Inggris, dan selalu menduduki peringkat pertama dalam juara kelas.

Perfect, hanya kata itu yang bisa mencerminkan sosok seorang Adsila.

Namun anehnya, dia gak pernah ngerasa kalo dirinya cantik. Setiap ada orang yang muji, dia pasti akan bilang;

"Oh ya? Masa sih? Makasih. Lo juga cantik."

"Cantikan lo kali."

"Ah enggak. Gue biasa aja kok."

Dan masih banyak ucapan-ucapan merendahkan hati yang lainnya.

Mungkin cewek yang beneran cantik emang gitu ya, suka gak merasa kalo dirinya cantik? Oke. Orang yang beneran gila juga gak pernah ngerasa kalo dirinya gila, kan?

"LIKA!! INI KAMAR KAMU KENAPA BERANTAKAN BANGET!!!"

Suara nyaring itu berasal dari mulut ibu gue, yang mana sekarang dia pasti lagi ada di kamar gue dan melihat betapa berantakannya kamar sang bunga itu. Yap, gue selalu ngerasa kalo gue ini adalah sang bunga. Bunga bangkai, maybe? Hahaha!

Sementara gue? Gue sama sekali gak peduli, karena itu udah biasa. Jadi, lebih baik gue selonjoran di teras depan rumah sambil nonton Drakor atau kepo-in bias-bias kesayangan.

Iya, gue emang anak biadab. Gak pernah bisa membanggakan kedua orang tua, selalu bikin mereka kesal, dan bisanya cuma ngabisin uang mereka.

"Lika, kuping kamu masih berfungsi kan?" tanya ibu, yang sekarang udah ada di hadapan gue. Berdiri sambil berkacak pinggang dengan wajah mengerikan.

Gue memilih diam, karena gue pikir pertanyaan ibu gak perlu gue jawab.

Wajah ibu makin memerah, dia menggertakan giginya sampe bikin gue merinding.

"Iya Bu, maaf. Nanti pasti Lika beresin kok. Lagian, mau berantakan atau enggak, itu kan kamar Lika, ngapain ibu harus pusing sih?"

Sedetik kemudian ibu tarik kuping gue sampe gue memekik kesakitan.

"Aduh, Bu... sakit!!" gue bangkit sambil menjerit.

"Sakit? Kalo seperti ini sakit gak?" tanya ibu sambil memutar kuping gue, dan gue semakin menjerit lebih keras.

Orang-orang yang lewat melihat gue dengan tatapan iba, dan saat itu gue ngerasa jadi manusia paling menyedihkan sedunia.

"Udah dong Bu, maluuu... itu tetangga pada ngeliatin." gue merengek dengan wajah melas.

"Punya malu juga rupanya, biarin. Biar aja mereka ngeliatin," geram ibu yang masih asyik menjewer kuping gue. Oh no! Pasti sekarang kuping gue udah merah karena di jewer ibu.

"Kamu itu sudah besar. Mau sampai kapan kayak gini? Selalu buat Ibu kesal. Lihat tuh Adsila-"

Sudah gue duga. Setiap ngomel, ibu gue pasti bakal bandingin gue sama anak tetangga-tetangganya, terutama Adsila. Secara, rumah dia berseberangan sama rumah gue.

"Dia itu gak pernah buat mamanya kesal. Rajin beres-beres rumah, rajin bantuin masak, rajin nganter mamanya ke pasar, rajin belajar, dan rajin ibadah," cerocos ibu.

Gue hanya memutar bola mata jengah. Kedua telinga gue panas akibat omelan ibu yang dibumbui kode itu.

"Banding-banding-in teroosss!!" batin gue berteriak.

"Harusnya sebagai teman, kamu bisa dong mencontoh Adsila. Lah ini, gimana mau ada yang naksir kalo kelakuan aja kayak kerbau, dasar jorok!"

Sial. Pagi-pagi sudah dikasih siraman rohani. Sumpah, gue kesel!

Akhirnya ibu melepaskan tangannya dari kuping gue. Dia masih menatap gue gak habis pikir, begitupun gue. Ya kali gue disamain kayak kerbau! Apa ibu mulai meragukan gue sebagai anaknya?

"Ngapain ngeliatin Ibu kayak gitu? Buruan beresin kamar kamu, habis itu mandi. Baru boleh makan."

"Lika mau makan dulu, baru beresin kamar terus mandi, abis itu tidur lagi." kemudian gue menyeringai tanpa dosa.

Ibu berdecak, lalu menarik napas dalam-dalam. "Nurut apa susahnya sih? Gak ada makan-makan sebelum kamar rapi." dia kemudian menghembuskan napas gusar.

"Tapi Bu," gue dengan gak tau dirinya masih berusaha mencari keadilan.

Bukankah membereskan kamar dan mandi itu perlu tenaga? Gak ada salahnya kan kalo gue mau makan dulu sebelum melakukan aktivitas yang melelahkan itu?

"Masih berani ngelak? Mau Ibu lempar kamu ke Lebanon?" tanya ibu tidak main-main dengan mata melotot.

"Ya Allah, Bu... sadis banget sih. Gak ada manis-manisnya jadi orang tua." gerutu gue sambil berjalan memasuki rumah dengan langkah malas.

Inilah hari libur gue. Minggu yang sangat membosankan. Minggu yang selalu dipenuhi omelan ibu yang tak pernah ada habisnya.

Jangankan jalan sama pacar seperti teman-teman gue, rebahan di kamar selama delapan jam aja ibu murkanya gak main-main.

Kadang gue sebagai anaknya sering merasa miris dan bertanya-tanya, gue ini sebenarnya anak dia apa bukan? Bukan apa, gue ini jarang banget dia puji atau banggakan. Ya, mungkin karena gue emang gak pernah punya prestasi.

Begitulah, meski galak dan cerewet, tapi gue gak mungkin ninggalin rumah ini. Secara, gue masih sangat membutuhkan duit dia dan gak tau harus tinggal di mana kalo kabur dari rumah. ~

Selamat tahun baru 2021 🎉

Always Insecure✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang