BAB 3.2. Akira dan Tamaki Fujii

117 11 0
                                    

Akira menunduk saking mindernya. Ia mengambil kelereng kaca dari dalam sakunya, lalu menggenggamnya erat-erat. Kelereng kaca kecil tembus pandang. Ukurannya pas di genggaman tangan Akira. Entah dengan teknik apa kelereng kaca ini dibuat, permukaanya nampak mulus tanpa terlihat bekas sambungannya sedikitpun. Di dalam kelereng tersebut terdapat tujuh sampai delapan hiasan berbentuk bunga es yang sangat kecil.

Kalau tidak salah, ketika pertama kali dia menginjakkan kaki di kota ini, ibunya membelikan kelereng itu untuknya. Dulu kehidupan mereka jauh lebih miskin dari sekarang, Akira tak pernah sampai hati minta dibelikan mainan mahal yang sedang populer saat itu. Akira mengingat-ingat, waktu Ia dan ibunya pergi ke toko swalayan untuk membeli sapu tangan dan kaus kaki. Waktu itu seluruh toko semarak dengan hiasan bertema Natal. Di antara hiasan-hiasan itu, ada kelereng kaca ini.

Saat ibunya sibuk memilih kaus kaki hangat untuk Akira, mata Akira terus tertuju pada kelereng kaca tersebut. Jauh di lubuk hatinya, pasti ibunya merasa sangat kasihan pada Akira yang sedari bayi tinggal di Tokyo, lalu tiba-tiba harus dibawa ke tempat sedingin ini. Ia harus berpisah dengan kakaknya tanpa alasan yang jelas, sementara ia pun masih belum terbiasa dengan sekolahnya.

Melihat Akira yang terpikat oleh kerajinan kaca tak berharga itu, ibunya memohon kepada pelayan toko untuk menjual kelereng kaca itu kepadanya. Pelayan toko menjelaskan bahwa memang kerajinan kaca yang dipajang ini tidaklah mahal, tetapi ini adalah komoditas khas daerah sini dan untuk membuatnya diperlukan keahlian khusus, sehingga kelereng tersebut hanya dibuat pajangan saja. Para pengrajin kaca yang ada di daerah ini sudah sangat sepuh, oleh karena itu barang ini sangatlah langka. Meskipun begitu, ibunya tetap memohon sampai membungkukkan badannya. Pelayan toko itu kewalahan, lalu akhirnya menjual kelereng kaca kepada ibu Akira.

Itulah saat pertama sekaligus terakhir kali bagi Akira melihat ibunya yang sangat pendiam itu ngotot akan sesuatu. Demi Akira, ibunya sampai memohon-mohon seperti itu. Oleh karenanya, kelereng kaca dengan bunga-bunga es itu adalah harta yang paling berharga bagi Akira.

Memang memalukan bagi seorang remaja laki-laki berumur 18 tahun untuk membawa barang seimut itu ke mana-mana. Tetapi kehidupan selama tiga bulan belakangan ini sangat menguras batin dan jasmani Akira. Ia tidak peduli jika harus bergantung pada mainan tak berguna ini.

"Sebenarnya, saya sangat khawatir." Akira bergumam pelan.

"Saya sangat senang karena Ayah dan yang lainnya memikirkan saya... Saya benar-benar senang... Tapi saya sudah tinggal di sini selama sebelas tahun. Bagi saya, inilah kampung halaman saya. Sekarang tiba-tiba disuruh kembali ke Tokyo, jujur saya merasa takut dan kesepian. Tentu saja saya ingin bertemu kakak saya, tapi saya tidak yakin apakah saya bisa menjalani hidup di sana dengan baik..."

Keluarga Fujii bukanlah keluarga biasa. Akira hanyalah anak kampungan dari negeri utara. Bagaimana jika seandainya ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan adat keluarga itu? Bagaimana kalau seandainya ia hanya akan mempermalukan ayah dan kakaknya saja?

Kudo menjawabnya dengan nada optimis, "Tak mungkin, ah. Aku yakin kamu pasti bisa menjalaninya dengan baik. Ya, mungkin para dokter dan suster di rumah sakit akan kecewa begitu kamu tidak ada lagi di sana. Kamu kan sudah jadi orang terkenal di rumah sakit."

"Apakah saya sepopuler itu...?"

Akira melihat wajah Kudo dari samping.

Di wajah Kudo yang bersih itu terbentuk sebuah senyuman yang teduh. Matanya tetap menatap lurus jalanan bersalju yang diterangi lampu mobil di depan.

"Ibu yang cantik dan baik hati, anak lelaki yang mirip dengan ibunya dan selalu tabah. Semua orang tahu kalian berdua."

"Anda terlalu memuji..."

Pengantin Keluarga ArisugawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang