SEBUAH PONSEL RAHASIA

1.1K 23 0
                                    

Rentetan peristiwa memilukan itu dimulai pada pukul sepuluh pagi pada minggu terakhir bulan Juni, di sebuah rumah bercat putih berlantai dua yang terletak di jalan utama kawasan perumahan elit daerah Jakarta Selatan.

Rumah mewah yang sukses dibangun pengusaha SPBU bernama Ferdy Aryatama, lima tahun sebelumnya. Hunian yang pagarnya tinggi dan kokoh, terbuat dari besi berukir, hingga siapa pun yang berdiri di sana akan dapat melihat deretan mobil mengkilap diparkir di garasi.

Jika gerbang itu dibuka, akan terlihat berbagai tanaman hias berharga mahal yang tumbuh subur dan terawat baik pada banyak sudut pekarangan nan luas itu.
Hanya dengan berdiri di halamannya saja, sudah cukup untuk membuat kesan kuat tentang sang pengusaha. Ferdy Aryatama, pengusaha muda, sukses dan punya selera.

Di kamar utama, seorang wanita cantik yang dinikahi Ferdy sepuluh tahun sebelumnya, sedang dihadapkan dengan tiga buah koper besar berjejer. Satu koper berwarna merah berisi pakaian baru dengan label merk masih menempel, sedangkan dua kopor lainnya berisi pakaian-pakaian kotor.

"Cek dulu tiap saku baju dan celana, barangkali ada yang tertinggal. Jangan sampai ikut masuk ke dalam mesin cuci." Wanita tinggi langsing dengan tubuh seorang model itu memperingatkan asisten rumah tangganya.

"Baik, Bu." Pelayan berusia akhir dua puluh tahun itu mengangguk patuh.

"Pakaian anak-anak belakangan saja, cuci terpisah, jangan dicampur dengan pakaian dewasa."

Sementara sang asisten rumah tangga bekerja menguras isi koper dan mengeluarkan pakaian kotor anak-anak sang majikan, Ishana Larasati, --ia kerap disapa dengan nama Isha-membuka koper merah.

Dari dalam koper itu, ia mengeluarkan sehelai dasi dan menempatkannya pada walk closet berisi koleksi pakaian sang suami. Dua helai kemeja dan celana bahan ia tempatkan pada bagian lain lemari itu. Dua helai gaun lengan panjang berbahan satin kualitas terbaik, disusun dalam lemari pakaian Isha, deretan gamis beraneka warna lembut dan beragam motif. Ia melengkapi koleksi dengan beberapa helai pasmina buatan Hermes. Cantik, pikirnya puas.

Isha bukan pecinta barang bermerk. Demikian pula Ferdy, suaminya. Pria itu tidak pernah rewel, selalu menerima saja apa yang Isha pilihkan untuknya, karena dia hampir tidak pernah berbelanja keperluan pribadi. Semua keperluannya, mulai dari dalaman hingga perlengkapan terluar, ia percayakan Isha untuk membelikan. Ia tinggal memakai saja. Meski demikian, ia cukup perhatian jika menyangkut kebutuhan istri dan anak-anaknya. Pria itu meyakini, bahwa harga berbanding lurus dengan kwalitas, dan hanya barang-barang berkwalitas yang ia inginkan melekat di tubuh istri dan anak-anaknya.

Kesibukan tidak pernah menghalangi pria idaman setiap perempuan itu untuk menyenangkan Isha dan anak-anaknya. Hampir setiap tahun ia membawa mereka pergi berlibur, terutama lima tahun terakhir, ketika ekonominya menguat dan uang bukan lagi persoalan.

Seperti kali ini, mereka baru saja kembali dari liburan. Selama satu minggu, Ferdy membawa istri dan anak-anaknya bersantai ke Singapura. Isha yang mengusulkan ide itu, dan Ferdy, yang nyaris tidak pernah menolak apa pun permintaan istrinya, menerima saran wanita itu dengan senang hati.

Bik Narti, asisten rumah tangga Isha, meletakkan sebuah ponsel di tempat tidur, sementara Isha menyusun sepasang jam tangan baru ke dalam rak khusus perlengkapan dan aksesoris.

"Ponsel siapa, Bik?" tanya Isha.

"Saya temukan di kantong celana Bapak, Bu."

Kening wanita berkulit bening itu berkerut heran, meragukan ponsel itu milik suaminya karena ia belum pernah melihat ponsel itu sama sekali. Ia mengambil ponsel dengan seri rendah itu, mengamatinya.

Ponsel itu dalam keadaan mati. Ferdy tidak pernah menggunakan ponsel seperti itu. Kalau begitu, ponsel siapa ini dan bagaimana bisa berada pada Ferdy?

Tidak ingin menduga-duga, Isha langsung menelepon suaminya.

"Ya, Sayang, ada apa?" Suara Ferdy ringan menyambut telepon.

"Merindukanmu."

"Kalau begitu kita sama." Terdengar gelak Ferdy di seberang sana. "Padahal baru pisah, udah kangen. Mas masih kebawa efek liburan."

"Iya nih. Aku senang, karena abis liburan wajah Mas gak kusut lagi seperti kemaren."

"Emang kalo kusut kenapa?"

"Gantengny nyusut," canda Isha.

Terdengar gelak kecil di seberang sana. "Bisa aja kamu."

"Beneran, gantengnya nyusut banyak. Makanya jangan terlalu larut sama kerjaan, Mas. Sesuatu yang berlebihan itu gak baik."

"Iya, Mama, siap!"

Sahutan spontan Ferdy memancing senyum Isha. Suaminya yang kalem bisa juga bercanda.

Isha kembali teringat tujuannya menelepon. "Mas, aku nemu ponsel di celanamu. Kelihatan bukan ponsel baru, serinya juga rendah."

"Ponsel?" Suara Ferdy terdengar sedikit tegang.

"Iya, Mas. Punya siapa ponselnya? Kalau perlu biar kuanter aja ke kantor."

Hening sekejap.

"Ya sudah, ke sini saja. Kamu pakai supir?"

"Aku sendiri aja."

"Oke kalau gitu. Hati-hati di jalan, Yang."

Telepon diputus.

Isha segera bersiap-siap. Gamis berbahan lembut bermotif bunga dan jilbab polos berwarna senada menjadi pilihan untuk menemui Ferdy. Tak lupa ia menyematkan bros mutiara, yang dibelikan Ferdy di Singapura kemarin.

Setelah menitipkan kedua putranya pada asisten rumah tangga, Isha meluncur dengan senyum di bibir. Ferdy baru berangkat ke kantor beberapa jam yang lalu, tetapi belum apa-apa Isha sudah ingin bertemu dengannya. Bersama Ferdy selalu membuatnya senang.

Ia teringat liburan mereka di Singapura yang penuh kegembiraan. Ada gelak tawa Fariz, Farouq dan Farhan, ketiga putra mereka yang masih anak-anak. Fariz berusia tujuh tahun, Farouq lima tahun dan Farhan dua tahun.

Isha pernah bertanya mengapa ketiga nama anak mereka memakai huruf awal yang sama dengan nama Ferdy.

"Anak papa Ferdy," kata pria itu.

"Terus mama Isha mau dikemanain?" protes Isha, berpura-pura cemberut.

"Mama Isha kan ratunya. Beda sendiri, gak boleh sama dengan kami rakyat jelata."
Isha tertawa ringan menanggapi.

Pernikahan Ishana Larasati dan Ferdy Aryatama sudah memasuki usia sembilan tahun. Isha memutuskan menerima lamaran Ferdy, setelah dua tahun mereka berkenalan. Sejak awal pertemuan, Ferdy sudah menunjukkan ketertarikannya pada Isha. Ia tidak menutupi perasaannya, dan meskipun dirinya hanyalah pedagang minyak eceran, preman terminal, penguasa parkiran, ia tidak gentar menambatkan harapan pada mahasiswi berhijab itu.

Ketika itu, penampilan Ferdy jauh dari kata rapi, karena lapangan terbuka dan terik matahari adalah medan juangnya. Sangat berbeda dengan Isha yang cantik dan anggun.

Hubungan mereka sempat mendapat tentangan dari ayah Isha yang pejabat kelurahan, tetapi Isha berkeras mempertahankan hubungan itu. Di matanya, Ferdy bukan semata tampan, tetapi pemuda yang baik dan bertanggung jawab.

Takdir mengikat Isha dan Ferdy ke dalam pernikahan.

Manusia lahir membawa rezeki masing-masing, begitu juga ekonomi Ferdy yang meningkat pesat seiring kelahiran putra-putranya.

Ferdy yang yatim piatu, tidak jelas keluarga dan latar belakangnya, berhasil membuktikan pada Keluarga Besari, bahwa ia pantas bagi putri bungsu mereka. Ia mencintai Isha, membahagiakan wanita itu dengan curahan kasih dan kecukupan harta.

Ferdy memegang prinsip, nilai tanggung jawab seorang laki-laki tidak bisa dipisahkan dari seberapa besar materi yang mampu diberikan. Materi yang ia berikan, melambangkan besarnya penghargaan bagi wanita yang ia cintai.

Isha dan Ferdy menjadi pasangan paling berbahagia.

..

Selesai berdandan, Isha meraih tas dan ponsel. Ketika akan menutup pintu kamar, langkahnya terhenti. Ia teringat ponsel temuan tadi dan kembali ke meja nakas.

Ketika memasukkan ponsel itu ke dalam tas, tanya kembali berkelebat.

Ponsel siapa ini?

DILEMA DUA ISTRI (Versi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang