GEJOLAK RASA SANG ISTRI MUDA

1.1K 28 3
                                    


Satu tahun lagi berlalu. Ferdy masih mempertahankan Hana karena rasa tanggung jawabnya, walau tidak sempurna ia berikan. Bagaimana pun, berlaku adil itu mustahil baginya.
Sebenarnya ia sudah berusaha memberi yang terbaik. Selain kasih dan perlindungan, Ferdy juga menghidupi keluarga Hana, sebagaimana ia mensupport keluarga Isha. Ia menyarankan Hana sekolah lagi demi bekal masa depan, seandainya suatu saat hubungan mereka berakhir, tapi yang dipikirkan Hana hanyalah bersenang-senang.

Ferdy tidak habis pikir dengan kecemburuan kaum perempuan. Seperti Hana ini. Dalam posisinya sebagai istri simpanan, seharusnya Hana memahami batas-batasnya. Tapi semakin hari kecemburuannya pada Isha semakin menjadi-jadi.

Beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya terjadi kekerasan fisik antara mereka. Pemicunya, gara-gara Ferdy salah menyebut nama.

"Isha Sayang, tolong handuk." Ferdy mengulurkan tangan dari pintu kamar mandi, lupa sedang berada di rumah Hana.

Seketika Hana muncul dengan handuk di tangan. Wajahnya merah, dengan sengit melempar handuk ke muka Ferdy.

"Jangan kau sebut nama itu di rumah ini, aku tidak sudi!" Dia setengah membentak.
Alis Ferdy naik sebelah. Tidak salah dengarkah dirinya?

"Apa kau bilang?" Ferdy maju selangkah.

"Jangan kau bawa-bawa nama si sundal itu ke rumah ini!" Bukannya mundur, Hana malah balik menantang. “Cukup dia di rumahnya saja, mengapa dibawa-bawa ke rumah kita?”

Wajah Ferdy menjadi gelap seketika.

Plak!!

Hana terdiam. Ekspresi kaget terlihat jelas dari wajahnya. Bibirnya separuh terbuka, terdiam menatap Ferdy.

Tanpa berkata sepatah pun lagi, Ferdy mengemasi dirinya, lalu pergi begitu saja. Ia sedikitpun tidak menoleh ketika Hana menyeru namanya beberapa kali.

Ferdy mendiamkan Hana selama dua minggu. Pria itu tidak pernah menelepon, terlebih mendatangi. Mulanya Hana bertahan karena gengsi, enggan membuka komunikasi terlebih dahulu dengan pria itu. Memasuki minggu ketiga, ia mulai gelisah. Rasa sedih dan rindu mulai memberatkan perasaan, hingga ia tidak tahan dan mengalah pada akhirnya. Dua hari berturut-turut ia mencoba menelepon Ferdy, tetapi pria itu tidak mengangkat telepon. Hana mengirim pesan berisi ungkapan penyesalan dan permohonan maaf. Tidak ada jawaban dari Ferdy.

Di ujung pekan ketiga, kala semua rasa telah berkumpul menjadi satu, dan rasa sedih yang mendominasi, penantiannya berakhir. Ferdy muncul di rumah kecil berkamar dua mereka. Namun alih-alih melepas rindu seiring tiga minggu perpisahan, pria itu justru memberi ancaman,

"Jangan pernah kau ulangi!" desisnya tajam. “Kau dengar itu?”

Hana tergagap, tertunduk dan mengangguk.

..

Sejak pertengkaran itu, Hana terlihat berubah. Ia tidak lagi banyak tanya dan protes. Sedangkan Ferdy, pria itu lebih berhati-hati untuk tidak membuka celah pertengkaran. Bagaimana pun, main tangan pada perempuan bukanlah karakternya. Masa kecilnya memang kelam, tidak jauh dari baku hantam dan berbagai kekerasan, tapi ia hanya mendaratkan tangan pada lawan yang seimbang.

Rumah tangga mereka menjadi lebih tenteram.

Akan tetapi, yang berubah pada Hana bukan hanya sikapnya, melainkan juga bentuk tubuhnya. Perempuan itu menjadi lebih bulat berisi dengan pipi penuh, dada berisi dan lingkar pinggang membesar. Selera makannya meningkat drastis, serta muntah-muntah di awal pagi. Ia menjadi sensitif terhadap beberapa bau. Ia menyukai bau sabun mandi yang melekat di tubuh Ferdy tapi membenci aroma parfumnya. Sikapnya semakin manja, mengingatkan Ferdy pada Isha saat hamil muda.

Jangan jangan.... Ferdy langsung menanyai Hana.

"Sudah tiga bulan," ungkapnya tenang. Seulas senyum bermain di bibirnya.

Ferdy terperangah, sesaat tidak sanggup berkata apa-apa.

“Kan sudah kubilang sejak jauh-jauh hari, kita tidak boleh sampai punya anak. Kenapa kau malah membangkang?” 

Hana maju selangkah ke depan suaminya. Postur pria itu tinggi dan gagah, hingga ia harus mendongak ketika bicara.

“Aku menginginkan anak, Mas. Salah satu tujuan pernikahan adalah melestarikan keturunan, kan?”

“Tapi kondisinya beda!”

“Pernikahan tetap pernikahan, tidak ada bedanya.”

Hana mengangkat bahu, enggan meneruskan perdebatan itu. Ia meninggalkan Ferdy dan pindah ke ruang tengah. Diraihnya remote televisi dan mulai memilih-milih siaran. Pilihannya jatuh pada acara infotainment di sebuah saluran televisi swasta, menatap penuh minta wajah pesohor di layar kaca. Tidak ia pedulikan Ferdy yang memandangnya dengan geram dan hati mendongkol.

“Hana, kita belum selesai bicara!” Ferdy merampas remote dari tangan Hana dan menekan tombol off.

“Apa lagi sih, Mas?” tanya Hana, ogah-ogahan menanggapi pria itu.

Tangan Ferdy mencekal lengan Hana dan menariknya bangkit.

“Sakit, Mas! Apaan sih!” protes Hana. Ia memaksa melepas cekalan di lengannya dan berdiri di depan Ferdy. “Mas maunya apa?”

“Kehamilan ini, aku tidak menginginkannya!” Suara Ferdy tajam, menuding perut Hana.

“Lalu?”

“Gugurkan.”

“Apa?”

“Gugurkan!”

Hana tercengang.

“Tidak ada anak dalam hubungan kita, tidak boleh ada! Dari awal aku sudah bilang, kan?” Ferdy menunjuk-nunjuk wajah Hana. “Aku menikahimu, sampai kau cukup kuat untuk kulepas. Makanya aku ingin kau sekolah, punya bekal buat masa depanmu, tidak harus menjual jasa di tempat hiburan malam!”

“Omong kosong. Mas menikahiku karena hasrat, syahwat! Merasakan satu kali minta tambah lagi!” tukas Hana tak kalah tajam.

Ia melihat wajah Ferdy merah padam, tetapi rasa takutnya hilang pada pria itu dan ia terus menantangnya.

“Giliran aku hamil, Mas keberatan. Dengar, ya, Mas, dosaku sudah banyak. Aku gak mau menambah dosa lagi dengan aborsi. Anak ini bukan anak haram, mengapa harus digugurkan?”

Nafas Hana naik turun, merasakan emosi mulai naik ke kepala. Kehamilan menjadikannya mudah lelah, dan ia sudah ingin beristirahat kalau saja Ferdy tidak memancing perdebatan seperti ini.

“Kalau Mas tidak bisa terima, baik, aku pergi saja. Aku akan pulang kampung dan melahirkan anak ini. Aku punya sedikit tabungan untuk bertahan hingga masanya melahirkan, lalu cari kerja untuk hidup kami berdua. Mas tidak usah pusing memikirkan kami.” Hana berbalik, lalu masuk kamar dan menutup pintu.

Ferdy terpaku, terkunci bibir hingga tidak bisa berkata-kata. Ia duduk mematung dalam keresahan.

Terdengar denting piring beradu dengan sendok dari gerobak bakso yang lewat di depan rumah. Pintu kamar terbuka, dan Hana melesat keluar mengejar.

Ia kembali dengan semangkuk bakso dan duduk di depan Ferdy. Seolah hanya sendiri di ruangan itu, ia menyantap dengan nikmat makanan itu tanpa sedikitpun menawari, sambil matanya condong ke televisi.

Satu jam kemudian, Ferdy melihatnya memotong-motong apel, pir dan mangga, mencampurkan ke dalam satu wadah dan menikmatinya sampai habis, tanpa sedikitpun mengangkat kepala. Sesekali Ferdy melihatnya mengelus perut, seolah memastikan janinnya mendapat manfaat dari makanan itu. Ferdy menemukan susu hamil dan berbagai multivitamin penambah darah dan kalsium di dapur mereka.

Hana bukan hanya menjaga, dia merawat janinnya.

..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DILEMA DUA ISTRI (Versi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang