[2] Hi, Kin Aristide!

82 61 61
                                        

Zona terburuk dalam masalah perasaan adalah berpura-pura menjadi sahabat padahal memang mencintai.

***

Orang-orang memanggilnya Kin, tapi name tag yang selalu tertempel di seragam sekolahnya bertuliskan Kin Aristide. Setiap tanggal dua puluh lima di bulan September, ia selalu membeli tart di toko kue ulang tahun yang ada di kompleks rumahnya. Dan setelah membeli tart, ia akan mengunjungi toko perhiasan untuk menyiapkan special gift. Rutinitas ini telah ia tekuni sejak tiga tahun ke belakang sebagai sebuah ritual wajib yang masuk dalam list tahunan.

"Liontin yang ini," pinta Kin sambil menunjuk sebuah kalung emas putih dengan liontin jangkar pada pegawai yang berdiri di seberang etalase.

Seperti sekarang, Kin sedang melakukan ritual wajibnya itu. Ia mengunjungi toko perhiasan yang akhir-akhir ini selalu dibicarakan oleh si teman spesial karena memiliki kalung idaman di tempat tersebut. Melalui cerita dari si teman spesialnya itu, yang sudah ia dokumentasikan baik-baik di dalam ingatan, Kin akhirnya memesan sebuah kalung emas putih dengan liontin jangkar yang katanya hanya ada satu saja di kota setempat.

Pegawai itu tersenyum tipis, lalu menebak dengan tepat. "For special someone?"

"Kurang lebih begitu." Kin mengedikkan kedua bahunya lalu menunjukkan senyuman canggung. Ia memberanikan diri membuka obrolan. "Kalau kalung ini dijadikan hadiah, kira-kira bakalan berkesan, nggak, ya?"

Mendengar itu, si pegawai yang melayani Kin langsung tertawa lantaran kepolosan Kin. Setelah tawanya reda, barulah ia menjawab. "Ya, berkesanlah, Mas. Siapa, sih, yang nggak terkesan kalau dihadiahin kalung yang seperti ini?"

Kin hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu setelah itu, tidak ada pembicaraan apapun lagi sampai Kin menerima barangnya kemudian membayar harga di kasir.

"Terimakasih atas kunjungannya, Mas," ucap si pegawai kasir dengan ramah. Tak lupa, senyuman manis ia sunggingkan dengan berlebih-lebihan.

Kin hanya membalas dengan senyuman tipis yang sekilas sebelum akhirnya melangkah dengan lebar keluar dari toko perhiasan tersebut. Ia menyadari betapa harus sabarnya ia bertemu dengan perempuan-perempuan yang kesepian ketika berada di luar rumah. Tidak di sekolahnya, tidak pula di toko perhiasan ini. Seragam putih abu-abu sepertinya tidak menyurutkan keinginan mereka untuk terus menatap Kin dengan tatapan kagum.

Mudah-mudahan Aileen suka, harap Kin di dalam hati. Ia memandangi hadiahnya sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan langkah menuju mobil yang ia parkir tak jauh di depan sana. Kedua sudut bibir Kin terangkat membentuk senyuman tipis ketika pikirannya membayangkan reaksi senang Aileen saat menerima hadiah nanti. Gadis yang telah berbagi suka, duka, cerita dan rahasia dengannya itu pasti akan memekik kegirangan, memeluk Kin dengan erat sembari mengucapkan terimakasih berkali-kali. Paling tidak, hal kecil seperti itu mampu membuat Kin merasa menjadi laki-laki paling beruntung di atas muka bumi ini.

"Waktunya menjemput Tuan Putri Aileen," ucap Kin pelan lalu tersenyum geli sendiri.

Ia membuka pintu mobil, kemudian memasukkan tart dan kado yang sudah disiapkannya ke kursi di sebelah kiri. Setelah itu, ia memeriksa ponselnya untuk memeriksa barangkali sudah ada pesan balasan dari Aileen. Belum ada. Ia menatap layar, lama. Kakinya bergerak mengetuk-ngetuk lantai parkiran menandakan ia sudah bosan menunggu. Sementara itu, matanya menatap kosong ke arah smartphone. Ia membatin, kebiasaan!

Karena belum ada pesan balasan dari Aileen, Kin akhirnya memutuskan untuk menunggu teman spesialnya itu di kafe yang terletak di kompleks sekolah mereka. Kin kemudian menutup pintu mobil di sebelahnya, lalu berjalan mengitari mobil bagian depan dan membuka pintu mobil yang lain, masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Sejenak kemudian, ia telah membelah jalan raya dengan perasaan yang sedikit sakit.

StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang