[3] A Million Piece

65 57 61
                                    

Dalam hal jatuh cinta, akan selalu ada yang dikorbankan, entah itu hatimu atau hatinya.

***

"Kalau dari tadi lo jujur aja nggak ada jemputan, pasti sekarang lo udah di rumah."

Zanna diam saja mendengarkan Kin berbicara. Ia justru menunduk dan terus berjalan di sebelah Kin dengan pikiran yang masih dipenuhi tanya. Zanna masih belum percaya dengan hal-hal yang terjadi beberapa saat lalu. Kin, cowok asing yang datang entah dari mana, tiba-tiba mengaku sebagai wakil Tuhan untuk merayakan hari ulang tahunnya yang kelima belas, menggantikan tugas Amerta. Tart, lilin, dan sebuah kado yang kini ada di dalam tasnya, seperti sebuah mimpi yang dipaksa menjadi nyata.

"Lo beneran jarang main keluar rumah?"

Pertanyaan itu keluar dari mulut Kin saat Zanna tiba di dekat mobilnya. Zanna mengangguk canggung. "Iya," jawabnya.

"Lo tau nggak? Kalau Frozen itu lebih menarik ketimbang Dora?" tanya Kin yang sontak membuat kedua alis Zanna berkerut. Ia lalu menambahkan. "Percaya atau nggak, gue baru kali ini nemu cewek yang kayak lo. Unik."

Zanna menggaruk pelipisnya. Kurang nyaman dengan kalimat Kin yang terakhir. "Oh, ya?"

Kin hanya menangguk. Tanpa memperpanjang percakapan, ia segera membuka pintu mobil dan bertanya. "Rumah lo di mana? Jauh dari sini?"

"Ini nanti lurus, terus pas depan-"

Belum selesai Zanna berbicara, Kin memotong. "Nanti aja tunjukin jalannya," katanya.

Tanpa mengulur waktu lagi, Zanna masuk ke dalam mobil Kin. Tak lama kemudian, Kin segera menyusul masuk dan duduk di sebelahnya. Mobil pun bergerak membelah jalan raya beberapa detik setelahnya. Di sepanjang perjalanan, baik Kin maupun Zanna, keduanya sama-sama diam. Tak ada pembicaraan lain selain arah menuju rumah Zanna. Kin yang tak pandai berbasa-basi, dan Zanna yang kurang suka berbicara panjang lebar kalau tidak penting. Menarik.

"Perempatan depan belok kanan."

"Oke," sahut Kin.

Menerima tawaran Kin untuk mengantarnya pulang adalah sama dengan menorehkan sejarah baru di dalam hidupnya. Bisa dibilang, Kin adalah lelaki kedua setelah Ayah yang berkesempatan duduk berdua dengan Zanna di dalam mobil. Selain Tuhan, tidak akan pernah ada yang tahu kalau saat ini Zanna sedang berdoa setengah mati di dalam hatinya supaya waktu berputar lebih cepat dari biasanya sehingga ia cepat terbebas dari suasana canggung itu.

"Yang pagarnya cat biru." Zanna menunjuk rumah dengan desain kontemporer tak jauh di depan sana, membuat pergerakan mobil Kin langsung berubah pelan. Setelah mobil Kin benar-benar berhenti di depan rumahnya, tanpa aba-aba, Zanna langsung membuka pintu mobil dan keluar. Ia berdiri tegak di sebelah mobil Kin dan memeluk tas di depan dadanya dengan, cukup erat. Dengan suara yang pelan, Zanna berkata, "Maaf, ya."

"Maaf untuk?" tanya Kin yang masih duduk di dalam mobil. Dari celah jendela, ia menatap dengan tatapan lurus ke arah Zanna. "Perasaan dari tadi lo nggak ada buat salah ke gue deh," sambungnya.

Zanna menggeleng dan tersenyum canggung. Sialnya, hal itu justru membuat Kin semakin menatapnya lurus seperti menanti jawaban. Ditatap seperti itu, Zanna tiba-tiba merasa dirinya menciut. Sehingga mau tak mau, ia terpaksa menjawab pertanyaan Kin. "Maaf karena udah ngerepotin lo."

Kin tak langsung menanggapi jawaban Zanna. Laki-laki itu keluar dari mobil dan berdiri persis di depan Zanna, membuat Zanna refleks mundur satu langkah lebih jauh. Sambil memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana, barulah ia bersuara. "Gue nggak ngerasa direpotin, nih. Yang ada, gue malah seneng. Paling nggak, dengan anterin lo pulang, gue nggak perlu lama-lama di kafe tadi."

StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang